Dalam dunia pendampingan desa, mengatur napas adalah seni. Aktivitas tiada henti membuat pendamping mulai memikirkan cara menjaga daya secara berkelanjutan, salah satunya melalui passive income. Dengan beban kerja yang padat, muncul kebutuhan untuk menata ulang cara hidup mereka.
Pertanyaan tentang bagaimana pendamping desa bisa memiliki penghasilan yang tetap berjalan walau ia sibuk, mulai muncul dalam forum-forum informal. “Kalau semua harus dikerjakan sendiri, kapan bisa istirahat?” ujar seorang pendamping dari Sumbawa saat pelatihan di Mataram.
Dari diskusi tentang pilihan solopreneur dan kemitraan dalam pelatihan sebelumnya, berkembang pula kesadaran bahwa ada satu jenis penghasilan yang penting dipertimbangkan yakni, passive income atau penghasilan pasif. Bukan penghasilan besar yang datang tiba-tiba, tapi aliran kecil yang konsisten.
Robert Kiyosaki dalam bukunya Rich Dad Poor Dad (1997) menjelaskan bahwa penghasilan pasif bukan sekadar tambahan, melainkan instrumen kebebasan waktu. Dalam konteks pendamping desa, ini berarti menjaga ketahanan pribadi tanpa meninggalkan tugas pemberdayaan.
Bagi banyak pendamping, kuncinya adalah membangun sistem, bukan sekadar memulai usaha. Konsep ini sesuai dengan pemikiran Gerber dalam The E-Myth Revisited (2001), bahwa usaha kecil sering gagal karena pemiliknya bekerja dalam bisnis, bukan untuk bisnis.
Pendamping desa dari Lombok Utara memulai dari warung kopi kecil yang dikelola iparnya. Ia tidak ikut terlibat setiap hari, tapi sistemnya dibangun agar tetap berjalan. “Saya bikin catatan stok, kas harian, dan standar belanja. Sisanya saya awasi dari jauh,” ujarnya.
Pendamping dari Sumbawa Barat dan beberapa lainnya memilih menyewakan alat pertanian milik pribadi kepada warga sekitar. Alat-alat itu dibeli secara mencicil dari hasil tugas pendampingan dan kini menjadi sumber pasif. “Saya tinggal atur jadwal dan jaga agar alat tetap layak pakai,” ujar salah seorang dari mereka.
Sementara itu, ada pula yang memanfaatkan kemitraan lokal. Seorang pendamping dari Lombok Barat bekerjasama dengan peternak ayam petelur. Ia ikut menanam modal dan bagi hasil setiap panen. “Saya tak pegang kandang, tapi saya tahu betul perputaran biaya dan hasilnya.”
Dari pengalaman-pengalaman itu, terlihat bahwa passive income bukan berarti tanpa kerja sama sekali. Justru dibutuhkan sistem, kepercayaan, dan struktur usaha yang bisa berjalan walau pemiliknya tidak hadir secara langsung.
Sebagai pendamping yang berada dalam sistem publik, muncul pertanyaan etis: sampai sejauh mana pendamping desa boleh membangun usaha pribadi? Bagaimana jika usaha itu berkaitan langsung dengan mitra dampingan seperti BUMDes atau usaha seorang perangkat desa?