Dalam realitas pasar kerja hari ini, tak hanya ijazah atau pengalaman yang diperhitungkan. Penampilan fisik, termasuk syarat tampang rupawan (good looking), menjadi salah satu penentu seseorang bisa lolos atau ditolak bahkan sejak tahap awal rekrutmen.
Tak sedikit iklan lowongan pekerjaan secara tersirat maupun eksplisit mencantumkan kriteria penampilan menarik, berpostur ideal, atau berwajah rupawan. Ini bukan hanya terjadi di industri hiburan, tapi merambah ke dunia pemasaran, pelayanan publik, hingga posisi administrasi.
Sepertinya fenomena ini makin berkelindan dengan maraknya budaya populer, termasuk pengaruh besar dari drama Korea (drakor) yang hampir selalu menampilkan karakter utama yang tampan, muda, modis, dan karismatik. Ini secara tak langsung membentuk standar visual di ruang publik kita.
Kondisi ini menyudutkan banyak pencari kerja dari desa. Mereka yang tidak terbiasa tampil modis, tidak familiar dengan tren kosmetik, atau tidak memiliki akses untuk perawatan fisik modern kerap tersisih tanpa diberi kesempatan menunjukkan kemampuannya.
Desa dan Tembok Tak Kasat Mata
Di desa, tampang rupawan dan usia muda bukan modal utama. Modal mereka adalah kerja keras, keterampilan bertahan, dan loyalitas yang sering kali tumbuh sejak kecil dari kehidupan sosial yang padat gotong royong.
Namun ketika mereka mencoba masuk ke dunia kerja formal, mereka terantuk tembok tak kasat mata: syarat usia maksimal dan penampilan menarik. Wajah desa dianggap tidak sesuai dengan ekspektasi visual industri kota.
Di sinilah keadilan menjadi kabur. Bagaimana mungkin kompetensi dikalahkan oleh warna kulit, bentuk hidung, atau usia biologis? Dan bagaimana pemuda desa yang gagap tren metropolitan bisa bersaing dengan generasi kota yang sejak remaja akrab dengan skin care dan OOTD?
Di sinilah letak pentingnya wacana Wakil Menteri Ketenagakerjaan tentang penghapusan syarat batas usia dan penampilan menarik. Ia membuka ruang baru untuk reimajinasi dunia kerja yang lebih manusiawi dan berpihak pada rakyat kecil.
Menggugat Narasi Visual dalam Dunia Kerja
Budaya populer kerap menanamkan imaji bahwa kesuksesan adalah milik mereka yang muda dan rupawan. Drama Korea, yang sangat digemari di Indonesia, memberi kontribusi besar terhadap penguatan narasi ini, meskipun tanpa niat buruk.
Karakter pria kaya dan tampan yang sukses di usia muda, atau perempuan cantik yang tiba-tiba menjadi direktur—menjadi narasi dominan. Ini membuat banyak remaja dan pencari kerja merasa rendah diri ketika wajah mereka tak secerah layar kaca.