Sebagian orang berdagang hanya untuk mencari untung. Tapi tidak demikian dengan Haji Mohamad Imtihan. Ia berdagang juga untuk menghidupkan ekonomi banyak orang. Bagi lelaki bersorban ini, perdagangan adalah laku sosial yang dijalani dengan nilai dan pertimbangan moral.
Tuaq Nahar, salah satu pedagang kecil di desanya, mengenang Imtihan bukan hanya sebagai tempat kulakan. Ia menyebutnya guru, bukan karena mengajarkan ilmu agama, tetapi karena membukakan jalan ekonomi untuk orang kecil seperti dirinya.
“Haji Imtihan itu bukan cuma tempat saya ambil barang,” kenang Tuaq Nahar. “Beliau itu guru dalam diam. Cara beliau berdagang, jujur dan sabar, mengajarkan saya lebih dari sekadar cari untung. Beliau membukakan jalan, bukan sekadar memberikan barang.”
Konsep reseller, yang kini menjadi istilah jamak di era digital, telah lama dipraktikkan Imtihan secara sederhana. Ia memulainya dari keluarga sendiri, lalu tetangga sekitar. Barang seperti sarung, sandal, hingga kebutuhan rumah tangga bisa diambil dan dibayar belakangan.
Modal tidak menjadi penghalang untuk berdagang. Kepercayaanlah yang menjadi jaminan. Imtihan menyediakan barang untuk dijual kembali dengan konsep bagi hasil, tanpa bunga, tanpa tekanan. Semua dijalani dengan dasar niat baik dan tanggung jawab masing-masing.
Sistem ini membuat banyak orang punya kesempatan ikut memutar roda ekonomi, bahkan dari rumah. Mereka tak perlu toko atau etalase. Cukup membawa barang dan menjajakan dari pintu ke pintu. Skema ini menjadi penyambung hidup bagi banyak keluarga.
Bahkan hingga tahun 1990-an, masih ada yang belum mengembalikan barang atau bagi hasil kepada Imtihan. Namun ia tidak marah. Ia justru mengutus anak-anaknya untuk menagih barang yang sesuai kebutuhan mereka, bukan dalam bentuk uang.
Jika si anak butuh sandal, maka ia disuruh mengambil ke rumah si A yang dulu mengambil sandal dari sang ayah. Hubungan ekonomi dijalani seperti jaringan sosial yang hidup, bukan hanya sebagai angka-angka dalam buku catatan.
Transaksi baginya bukan perkara nominal. Tapi soal kejelasan akad dan kepercayaan. Ia tidak mau menerima uang sebagai ganti barang, jika sejak awal baranglah yang dijadikan dasar utang. Ia menolak riba, bahkan dari bentuk paling samar sekalipun.
Imtihan meyakini bahwa ekonomi harus dijalankan secara bersih, tanpa beban moral. Transaksi tak boleh mengandung ketidakjelasan, karena akan menyisakan keraguan. Ia memegang teguh prinsip ini bahkan dalam kondisi terdesak sekalipun.