Dulu, sebelum era ponsel pintar dan alarm digital, kehidupan berjalan lebih sederhana. Jam dinding di rumah menjadi rujukan utama untuk mengetahui waktu. Sayangnya, jam dinding juga bisa mengkhianati. Seperti yang terjadi pada sebuah pagi di bulan Ramadan saat masih duduk di bangku sekolah dasar.
Malam sebelumnya, seperti biasa, ibu menyiapkan makanan sahur. Semua berjalan seperti hari-hari sebelumnya. Tidur lebih awal, bangun di sepertiga malam, lalu makan bersama sebelum azan subuh berkumandang. Rutinitas yang sudah terpatri di benak sejak kecil.
Namun, ada yang tak biasa saat itu. Ketika terbangun, rumah masih sunyi. Ayah dan ibu pun tampak tenang, seolah waktu sahur masih panjang. Mata yang masih mengantuk melirik jam dinding di ruang tengah. Jarum pendek menunjukkan angka tiga, jarum panjang di angka lima. Masih ada waktu, pikirku.
Tanpa curiga, kami makan sahur dengan santai. Nasi hangat, tempe goreng, dan sayur bening tersaji di meja. Suasana terasa nyaman. Tak ada tanda-tanda kepanikan. Semua percaya pada jam dinding yang tergantung di ruang tengah itu.
Si bungsu yang duduk di ujung meja tampak gelisah. Sesekali ia melirik ke jendela. Tangannya meraih sendok, tapi pikirannya tampak melayang. Lalu, entah apa yang terlintas di benaknya, ia pun beranjak. Langkah kecilnya menuju ke jendela ruang makan. Tangannya perlahan membuka tirai.
Seketika ruangan berubah hening. Cahaya matahari yang begitu terang menembus kaca jendela. Langit biru bersih, tanda pagi telah menyingsing. Tak ada lagi jejak malam. Mata semua orang membelalak. Sendok yang baru saja hendak menyuap nasi terhenti di udara.
Sejurus kemudian, keheningan pecah oleh gelak tawa. Suasana yang tadi khidmat mendadak berubah menjadi kekacauan kecil. Ayah memandang jam dinding dengan raut tak percaya. Ibu menepuk dahi sambil tergelak. Si bungsu, yang jadi penyelamat pagi itu, nyengir bangga.
Jam di ruang tengah ternyata mati. Sejak kapan? Tak ada yang tahu. Tak ada yang sadar. Tak ada yang curiga. Kami semua telah tertipu oleh benda mati yang menggantung di dinding dengan angkuhnya.
Setelah itu, tak ada lagi yang bisa dilakukan. Sahur yang diniatkan justru terjadi di pagi hari. Puasa tetap dilanjutkan, meski dengan hati penuh tawa. Kejadian itu pun jadi cerita yang diulang-ulang setiap Ramadan tiba.
Di masa kini, kejadian seperti itu nyaris mustahil terjadi. Jam tak lagi hanya bergantung di dinding. Ponsel pintar telah mengambil alih tugasnya. Alarm digital selalu siaga. Aplikasi pengingat waktu sahur bisa diatur sedemikian rupa. Kemungkinan salah sahur karena jam mati hampir tak ada.