Anak-anak kecil berlarian di halaman masjid, sesekali menirukan gerakan imam dengan gaya mereka sendiri. Ada yang berusaha melafalkan surah pendek dengan suara lantang, berharap suatu hari bisa berdiri di depan sebagai pemimpin shalat. Ada pula yang dengan tekun menghafal bacaan dzikir, meniru ayah dan kakeknya.
Di dapur rumah-rumah warga, aroma khas makanan sahur mulai tercium. Ibu-ibu bangun lebih awal, memasak dengan penuh kasih. Mereka tahu, suami dan anak-anak mereka membutuhkan tenaga untuk menjalani ibadah puasa seharian. Ada ketulusan dalam setiap piring nasi, dalam setiap tegukan teh hangat yang disajikan sebelum subuh.
Malam Ramadan di desa bukan sekadar ritual ibadah. Ia adalah momen pembelajaran, perenungan, dan penguatan nilai kebersamaan. Setiap orang saling mendukung, tanpa melihat perbedaan usia atau status sosial. Yang tua menghormati yang muda dengan membimbing, yang muda menghormati yang tua dengan mendengar.
Ketika malam semakin larut, satu per satu jamaah meninggalkan masjid. Namun, ada beberapa orang yang tetap tinggal, melanjutkan dzikir dalam keheningan. Bagi mereka, Ramadan adalah kesempatan untuk mendekatkan diri, bukan hanya kepada Tuhan, tetapi juga kepada sesama.
Begitulah Ramadan di desa. Sederhana, tapi penuh makna. Setiap malam adalah pengingat bahwa dalam kehidupan, tidak selamanya seseorang harus berada di depan. Ada kalanya ia harus belajar mengikuti, sebagaimana makmum mengikuti imam dalam shalat. Dan ketika saatnya tiba, ia pun siap memimpin dengan penuh keikhlasan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI