Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ramadan di Desa: Makmum dan Imam dalam Keheningan Malam

3 Maret 2025   03:27 Diperbarui: 3 Maret 2025   03:27 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mushalla (Sumber: nasional.kompas.com/read/2021/08/30/18362601/)

Ramadan selalu menghadirkan suasana yang khas di desa. Saat malam menjelang, suara bedug bertalu, dan lampu-lampu masjid mulai menyala lebih awal. Warga bergegas mengambil air wudu, menyusun saf, lalu berdiri dalam shalat. Semua larut dalam kekhusyukan, baik sebagai makmum maupun imam.

Di desa, menjadi makmum yang baik sama nilainya dengan menjadi imam yang baik. Ada kesadaran kolektif bahwa dalam barisan shalat, setiap orang memiliki perannya masing-masing. Imam memandu, makmum mengikuti. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dalam penghambaan kepada-Nya (Rahardjo, 2018).

Di antara saf-saf itu, seorang anak muda berdiri di belakang imam. Usianya baru belasan, suaranya masih labil. Namun, suatu malam, imam masjid mendekatinya dan berkata, “Malam ini, giliranmu mengimami Tarawih.” Wajahnya memucat. Ia ragu. Namun, ia tahu, inilah waktunya belajar.

Saat takbir pertama berkumandang, seluruh mata tertuju padanya. Ia menarik napas, lalu membaca surat Al-Fatihah dengan suara bergetar. Makmum mengikuti. Mereka tidak menuntut kesempurnaan, hanya ketulusan. Kesalahan kecil tidak dihakimi, tetapi diperbaiki dengan bisikan lembut setelah shalat. Begitulah desa, tempat belajar tanpa menghakimi (Nata, 2019).

Di sudut lain, seorang lelaki tua yang selalu berada di saf pertama memilih berdiri di barisan belakang malam itu. Bukan karena sakit, tetapi ia ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi makmum yang baik. “Menjadi imam sudah sering,” katanya, “tetapi memahami perasaan makmum, itu lebih penting.”

Ramadan di desa bukan sekadar ibadah, tetapi pelajaran sosial yang mendalam. Semua memiliki peran yang harus dijalankan. Saling melengkapi, bukan mendominasi. Tidak ada yang berebut menjadi imam, karena semua tahu, menjadi makmum yang baik pun memiliki nilai yang sama (Fawaid, 2021).

Selepas shalat, obrolan ringan mengalir. Seorang pemuda bertanya kepada imam senior, “Apa rahasia menjadi imam yang baik?” Jawabannya sederhana, “Jadilah makmum yang baik dulu.” Semua tertawa, tetapi mereka tahu, ada makna dalam ucapan itu. Seorang pemimpin yang baik lahir dari seorang pengikut yang baik.

Di desa, Ramadan mengajarkan keseimbangan. Keheningan malam diisi dengan takbir, tasbih, dan rasa syukur. Tidak ada hiruk-pikuk seperti di kota. Kesederhanaan menjadi kekuatan. Di masjid kecil yang diterangi lampu kuning redup, pelajaran tentang kepemimpinan dan kebersamaan berlangsung setiap malam.

Setiap orang bergantian. Yang muda mencoba, yang tua membimbing. Yang pernah berdiri di depan kini duduk di belakang. Semua sadar, ada waktunya menjadi imam, ada pula saatnya menjadi makmum. Dan keduanya, sama berharganya.

Suasana Ramadan di desa juga memperlihatkan kehangatan dalam kebersamaan. Ketika shalat usai, beberapa jamaah tetap duduk di teras masjid, berbincang ringan tentang kehidupan. Mereka membahas panen yang akan datang, tentang harga beras yang naik, atau sekadar bercanda ringan yang membuat tawa pecah di keheningan malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun