Matahari belum sepenuhnya naik saat sekelompok pemuda berkumpul di sebuah warung kopi di Lombok Timur. Rokok mengepul, suara gelak tawa bercampur dengan obrolan ringan. Di antara percakapan, ada satu frasa yang selalu muncul: “Kabur aja dulu.”
Di Lombok, terutama di desa-desa yang jauh dari hiruk-pikuk kota, kalimat itu bukan sekadar candaan. Ia adalah kenyataan yang sudah mendarah daging. Pergi merantau bukan lagi sekadar pilihan, melainkan solusi yang tak terbantahkan. Ketika harapan di kampung halaman semakin menipis, keberangkatan ke negeri orang menjadi jalan keluar.
Tahun 2023 mencatat 33.949 pekerja migran asal NTB mengadu nasib di luar negeri (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, 2023). Dari jumlah itu, Lombok Timur menyumbang angka tertinggi dengan 13.111 pekerja migran, disusul Lombok Tengah dengan 10.840 orang. Tak heran jika banyak desa di Lombok sepi dari pemuda produktif.
Pemandangan rumah-rumah besar dengan arsitektur mencolok berdiri di tengah ladang gersang adalah saksi bisu keberhasilan mereka yang pulang membawa uang.
Namun, di balik tembok megah itu, ada cerita-cerita getir yang jarang terdengar. Ada yang sukses, ada pula yang pulang dengan tangan hampa, bahkan tak sedikit yang tak pernah kembali.
Migrasi tenaga kerja dari Lombok bukanlah fenomena baru. Dari dulu, desa-desa di NTB telah menjadi lumbung pekerja migran. Malaysia, Arab Saudi, Taiwan, dan Korea Selatan menjadi destinasi utama.
Motivasinya sederhana: mencari kehidupan yang lebih baik. Lapangan kerja di kampung halaman terlalu sempit, harga hasil tani tidak menentu, dan biaya hidup terus merangkak naik.
“Di sini susah cari kerja, gaji kecil, jadi mending merantau,” kata Lalu Ardi, mantan pekerja migran asal Lombok Tengah. Seperti banyak lainnya, ia menganggap pergi ke luar negeri adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkan penghidupan yang layak.
Uang yang dikirim para pekerja migran, atau remitansi, menjadi denyut nadi ekonomi desa. Pada November 2023, Mataram dan Lombok Barat tercatat sebagai daerah dengan jumlah remitansi tertinggi di NTB (Bank Indonesia, 2023).
Namun, aliran uang ini tidak selalu menjadi investasi produktif. Sebagian besar dihabiskan untuk konsumsi dan membangun rumah besar yang kadang justru terbengkalai.