Mohon tunggu...
Ikhwan Mansyur Situmeang
Ikhwan Mansyur Situmeang Mohon Tunggu... -

Staf Pusat Data dan Informasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mundardjito: “Tinggalan Budaya adalah KTP Kita”

3 Mei 2012   02:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:48 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi pencinta sejarah dan kesejarahan, profesor arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) Mundardjito bukan lagi nama yang asing. Dialah Bapak Arkeologi Indonesia. Ketekunan dan konsistensinya menggali situs sejarah dan menjaga kelestariannya sangat layak dipuji, seperti bagaimana ia mengamankan situs Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.

Arkeolog terpaksa turun gunung saat di dunia sekitar seribu situs dalam satu tahun terkena hantam atas nama pembangunan ekonomi. Mereka mengamankannya supaya kita bisa menulis sejarah dengan betul, karena satu kesamaan antara Acropolis di Yunani, Pompeii di Italia, dan Angkor Wat di Kamboja, yakni jati diri bangsa. Begitu pun situs Majapahit.

Selain bukti kejayaan di masa lalu, warisan budaya tersebut menjadi obyek wisata yang digadang-gadangkan ke pelancong mancanegara. Tak mengherankan kalau Pemerintah Yunani, Italia, dan Kamboja merawat dan melindungi tinggalan atau warisan budayanya.

“Situs tidak hanya untuk kepentingan akademik yang memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, juga untuk memperkokoh jati diri kita sebagai bangsa. Tinggalan budaya kita yang beragam, istimewa, unik, yang tidak ada di Singapura, Malaysia, atau negara mana pun. Itu adalah KTP (Kartu Tanda Penduduk) kita. Trowulan KTP kita, Sangiran KTP kita, Borobudur KTP kita,” Mundardjito menegaskannya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Ruangan Komite III DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (19/7/2010).

“Waktu Belanda ke sini, mereka melihat budaya kita yang hebat. Itulah yang harus dirawat dan dilindungi,” ia menyambung di acara yang dipimpin Ketua Komite III DPD Sulistiyo (Jawa Tengah) dan menghadirkan Ketua Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM) Inayati Adrisiyanti. Agendanya, membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Cagar Budaya.

Menurut lelaki kelahiran Bogor, 8 Oktober 1963, ini konsep pembangunan berkelanjutan meniscayakan partisipasi para pihak, tidak terkecuali pemerintah daerah dan masyarakat. Apalagi, sesuai dengan semangat otonomi daerah atau desentralisasi maka seharusnya urusan kebudayaan diserahkan pusat ke daerah. “Pemerintah daerah harus berperan. Selama ini, peran Pemerintah terlalu besar.”

“Jadi, pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan tinggalan atau warisan budaya kita harus berbasis masyarakat. Masyarakat harus berperan, jangan hanya Pemerintah. Konsepnya, heritage for all. Semuanya untuk kita, bukan hanya untuk ilmuwan, Pemerintah.”

“Jangan lagi Pemerintah sebagai operator tunggal. Yang harus dipentingkan adalah kemitraan antara Pemerintah dan masyarakat, pemerintah daerah, perusahaan. Kemitraan menjadi tulang punggung paradigma baru. Karenanya, harus diatur kerjasama yang integratif, partisipatif, kontributif.”

Mundardjito banyak terlibat dalam tim evaluasi pemugaran candi atau situs, seperti mengetuai Tim Evaluasi Pembangunan Taman Majapahit dan anggota Tim Sidang Pemugaran Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ia juga banyak terlibat tim pakar seni budaya dan permuseuman, antara lain anggota board of experts majalah National Geographic Indonesia.

Ia menyelesaikan sarjana di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1963, kemudian mengikuti program non-gelar (metodologi arkeologi) di University of Athens, Yunani (1969-1971) dan program non-gelar (teori arkeologi) di University of Pennsylvania, Amerika Serikat (1978-1979). Doktornya dirampungkan di Program Pascasarjana UI tahun 1993 dengan yudisium cum laude.

“Artefac-oriented”

Suami Martuti S Danusaputro ini mengatakan, Undang-Undang (UU) Benda Cagar Budaya sebagai warisan Belanda yang paradigma atau filosofi keilmuannya berbeda, karena sebagai penjajah mereka mengutamakan kepentingan akademik. Sedangkan sumber budayanya hanya benda cagar budaya seperti candi, arca, dan prasasti.

Belakangan filosofi keilmuannya berubah. Bukan hanya kepentingan akademik yang diutamakan, tapi juga membentuk jati diri bangsa bahwa kita mempunyai teknologi dan kebudayaan yang membanggakan. Jika UU yang lama hanya memajukan kebudayaan bangsa, maka UU yang baru mengatur memajukan kebudayaan bangsa sekaligus memajukan kemakmuran rakyat.

Jika dulu hanya berorientasi benda (artefac-oriented atau berorientasi artefak), maka kini juga situs, landskap, atau kawasannya. “Karenanya, kita tidak bisa hanya melestarikan benda, juga situsnya. Lokasinya adalah kunci rahasia untuk menjelaskan benda itu sendiri. Kalau benda di pemukiman, berarti alat rumah tangga. Tapi, kalau benda di pekuburan, berarti bekal kuburan.”

Implikasinya adalah memperluas lahan situs untuk zonasi, seperti zona perlindungan, zona pengembangan, atau zona pelestarian. “Pelestarian yang tadinya parsial, kecil, menjadi menyeluruh, besar. UU yang lama tidak jelas. Namanya saja UU Benda Cagar Budaya, orientasinya adalah artefak. Sekarang namanya RUU Cagar Budaya, berarti orientasinya tidak hanya benda juga situsnya.”

Dari nama RUU-nya, jelas bahwa bukan benda tapi cagar budaya. Ia bercerita, Borobudur ketika ditemukan bukan lahan yang kosong di Magelang, Jawa Tengah. Sewaktu Candi Borobudur dibangun, di kawasan itu telah ada pemukiman atau perdusunan. Pemakaman di beberapa desa sekitar Borobudur ada yang berumur sebelum tahun 1300.

Juga ditemukan aliran puluhan sungai purba yang berumur ribuan tahun yang bermuara ke cekungan danau purba di kawasan sekitanya yang terjadi jutaan tahun lalu sebelum Candi Borobudur dibangun abad ke-8. Ada sungai yang bertahan memakai alur lama, yaitu Kali Elo dan Kali Progo. Tapi, sejumlah aliran sungai membentuk alur yang baru, seperti Kali Lamat, Kali Blongkeng, dan Kali Pabelan.

Jadi, lokasi Candi Borobudur bukan mustahil di bekas kawasan danau purba. Danau purba tersebut menghilang akibat endapan vulkanik dan letusan sejumlah gunung berapi purba seperti Sumbing, Merapi, dan Merbabu yang diperkirakan akhir abad ke-13. Akibatnya, banyak aliran sungai purba mencari alur menuju Laut Selatan.

Situs Borobudur tersebut bisa menjelaskan bagaimana pekerja candi mengangkut 2 juta batu dari Kali Brongkeng yang jauh untuk membangun Borobudur. Bagaimana batu dipotong-potong? Apakah dipotong menyerupai balok-balok di Kali Brongkeng atau di lokasi Borobudur sekarang?

Lalu, apa yang dicagarbudayakan? “Kalau hanya Borobudur yang dilestarikan, maka pelestariannya terlepas dari konteksnya. Sama saja dengan memindahkan Borobudur ke Jakarta. Konteksnya penting sebagai lingkungan.”

“Yang dicagarbudayakan ialah benda, situs, serta nilai-nilainya yang intangible (“tak berwujud”). Memang, yang terlihat hanya benda fisik tapi di belakangnya ada nilai-nilai nonfisik yang intangible. Benda yang terlihat hanya media, tetapi nilai-nilainya ditafsirkan para ahli.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun