Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis dan Pengasuh Pondok Pesantren Laa Roiba Muaarenim

Jurnalis dan Pengasuh Pondok Pesantren Laa Roiba Muaarenim

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yang Lebih Perkasa Orang Sakit

14 Juli 2025   00:00 Diperbarui: 12 Juli 2025   08:40 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber : Chatgbt.com)

 

Oleh Imron Supriyadi

Tahun 2010, menjelang kelahiran anak saya yang pertama, isteri saya sakit. Ada sekitar 2 bulan ia harus terbaring. Sementara, penghasilan terbatas dari pekerjaan saya, ketika itu tidak bisa mencukupi biaya pengobatan. Dengan sendirinya kian hari kian menipis. Tinggal satu-satunya adalah maskawin. Sebagai suami, ketika itu saya tidak terucap untuk bicara pada isteri. Sebab bagi saya, maskawin menjadi seuatu yang sakral. 

Kali itu ada terbersit keinginan untuk menjual maskawin. Tapi mulut saya terkunci. Saya sangat tahu, isteri saya begitu sayangnya, sehingga untuk melepas maskawin yang menjadi sejarah pernikahan kami akan berat ia lakukan. Sudah tentu, jauh sebelum sakit, isteri saya sangat keberatan untuk melepas maskawin, apalagi ketika itu hanya sekadar akan dijual untuk memenuhi kebutuhan perut dan persiapan kelahiran.

Tapi kali itu tak ada pilihan, kecuali saya harus sampaikan kepada isteri saya. Prinsip saya, untuk apa menahan harta benda, sementara mutiara dan belahan jatung hati saya terbaring sakit? Akhirnya saya beranikan diri bicara pada isteri saya. “Bagaimana kalau maskawin kita jual saja, untuk tambahan biaya pengobatan,” ujar isteri saya, beberapa detik sebelum saya berucap. Subhanllah! Demikian kuatnya energi dari langit, sehingga seketika tenaga itu mendorong isteri saya untuk menyatukan kata hati saya saat itu.  

                                                                                                                          **

Dalam sejarah, budaya patriarki sudah demikian kuat mengakar di Sumatera Selatan (Sumsel). Akibatnya, posisi laki-laki seolah menjadi “raja” di rumah tangga. Sampai-sampai, tradisi ini, seolah mengajarkan ; semua pekerjaan dapur adalah urusan perempuan. Sementara laki-laki tidak boleh sedikitpun berurusan dengan dapur, termasuk diantaranya menimba atau mengangkut air dari sumur ke dapur.  “itu aib,” kata bapak saya suatu ketika.

Tapi  ketika Idul Fitri tahun lalu, saat saya, isteri dan anak-anak mudik ke rumah orang tua di pojok desa Sumatera Selatan, ada perasaan prihatin melihat emak. Sejak mesin airnya mati, emak harus mengangkut air ke dapur. Padahal rumah kami panggung. Sehingga emak harus setiap hari menimba dan mengakut air ari sumur ke dapur, setelah sebelumnya emak harus menaiki tangga yang menuju dapur. Sementara bapak saya, karena kuatnya memegang budaya patriarki, tak sedikitpun bergeming guna membantu emak, walau sekadar menimba air sumur untuk keperluan mandi.

Saat kami sudah kembali ke Palembang, kami mendengar nenek kami sakit. Selama tiga bulan lebih nenek terbaring tak berdaya. Semua harus dilakukan diatas tempat tidur. Kencing, berak, makan dan semuanya. Tak ada pilihan lain, emak yang harus mengurus semuanya. Sejak menyuap sampai bersih-besih kotoran.

Tapi kata Emak, sejak nenek sakit sampai akhirnya sembuh, bapak sekarang menjadi orang yang sangat empatik terhadap dapur. Memang bukan untuk memasak. Tapi bersedia meringankan beban emak untuk menimba dan mengangkut air dari sumur ke daur. Bahkan bapak juga sesekali memenuhi semua bak mandi, ember di sumur sampai penuh. Sakitnya nenek, ternyata menjadi “alat Tuhan” untuk mengantar dan menyalurkan energi-Nya yang kemudian “memaksa” bapak saya untuk peduli terhadap keseharian emak. 

                                                                                                                                     **

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun