Mohon tunggu...
Nyonya Possible
Nyonya Possible Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Manis dengan pemikiran kritis yang ingin mencoba untuk menulis, walaupun terlihat agak sadis, yang penting tetap optimis. Excuse me, I'm still newbie!!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Psywar, Apa sih?

5 Januari 2017   15:50 Diperbarui: 5 Januari 2017   16:06 21753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Psywar (Psychological Warfare) atau biasa disebut perang urat syaraf adalah suatu bentuk serangan propaganda yang dilancarkan dua atau lebih pihak yang saling bertentangan pendapat. Salah satu batasan akademiknya adalah "suatu tindakan yang dilancarkan menggunakan cara-cara psikologi dengan tujuan membangkitkan reaksi psikologis yang telah terancang terhadap orang lain".

Psywar merupakan salah satu strategi yang sering digunakan dalam peperangan. Berbeda dengan perang-perang konvensional yang bermodalkan senjata atau berbagai peralatan fisik lainnya untuk mengalahkan musuh, Psywar memanfaatkan sisi psikologis dan pemikiran lawan agar bisa dipecah konsentrasinya.

Dalam bidang akademik, Psywar ini juga sering dilakukan oleh pelajar atau mahasiswa. Salah satu contohnya adalah pada kasus sebelum ujian sekolah/kuliah. Seringkali kita menemui orang-orang yang berkoar-koar sudah belajar banyak dan sudah sangat siap menghadapi ujian. Cara seperti ini secara tidak langsung menjatuhkan mental teman-temannya yang belum belajar atau belum siap dalam menghadapi ujian.

Dan pada contoh lainnya adalah pada kasus yang sama. Seringkali pula kita menemui orang-orang yang berkata bahwa dirinya belum siap dan belum belajar sama sekali. Hal ini merupakan cara mereka untuk pura-pura bodoh sebelum ujian, padahal bisa saja mereka sudah sangat siap untuk ujian dan cara ini dimaksudkan untuk membuat teman/kompetitornya menjadi tidak fokus.

Dari pembahasan di atas, Psywar merupakan strategi yang seringkali efektif sebagai cara memenangkan persaingan. Terlepas baik atau buruknya suatu tujuan yang mendasarinya, menjadi suatu nilai lebih apabila kita bisa menguasainya dalam berbagai hal (terlebih untuk tujuan yang baik dan bermanfaat).

Well, menjelang “Pilgub DKI” ini, bisa dibilang bahwa masing-masing partisan biasanya melakukan Psywar untuk mempengaruhi konstituennya (secara langsung atau tidak), terutama bagi pemilih pemula atau para golput. Karena tidak menutup kemungkinan masing-masing tim sukses dari tiap kandidat melakukan ajang Psywar dalam suatu proses pemilihan umum atau kampanye.

Mengapa harus demikian? Karena Psywar dilakukan untuk menyerang titik pikiran manusia. Dimana kekalahan dalam berpikir dari manusia dianggap merupakan kekalahan dari political animal atau homo homini lupus tanpa harus melalui sebuah peperangan konvensional. Pertanyaannya, adakah kaitan antara naluri hewani dan politik? Lalu, apa implikasi plus-minus insting binatang dalam diri politisi dan pemimpin bagi negara?

Jika politik dipahami sebagai kerja, maka konsep kerja bagi binatang dan bagi manusia mutlak berbeda. Binatang bekerja semata untuk memenuhi kebutuhan fisik-biologis berupa makan, minum dan seks. Tak lebih dari itu. Sementara manusia bekerja melampaui pemenuhan kebutuhan fisik-biologis, yakni karena alasan sosiologis, politis, etis, kultural juga psikologis untuk aktualisasi diri. Binatang juga ditakuti karena kekuatan fisiknya. Ular ditakuti karena bisanya, singa mematikan karena cakar dan taringnya, serta badak ditakuti karena culanya. Sementara manusia, disegani karena nalar dan nuraninya. Itu sebabnya, manusia mengandalkan logika, etika, dan estetika dalam politik.

Dan dalam politik, sisi animalitas pemimpin tampak dalam sifat rakus-tamak pada materi, cinta berlebihan pada uang dan tahta. Kekuasaan dalam arti ini direduksi semata sebagai alat pemimpin dan politisi untuk memuaskan naluri rendah hewaninya. Pemimpin yang gagal menjinakkan naluri hewaninya pasti terjerembab dalam kubangan korupsi, kolusi, suap dan grativikasi seks. Pemimpin tipikal ini juga memiliki naluri predatoris, yakni gemar memangsa, mengorbankan pihak lain.

Bagi pemimpin dengan insting hewani tinggi, politik dimaknai sekedar arena konflik untuk merebut benda, harta, tahta. Politik jadi cara adu strategi untuk berkuasa. Nilai politik merosot menjadi media manipulasi dan korupsi, mirip binantang buas yang berkelahi demi mendapatkan mangsa dan mengamankan hidup spesiesnya. Proses perebutannya juga dilakukan dengan cara kekerasan. Politik direndahkan menjadi arena perebutan kekuasaan sarat intrik antar-elite guna merebut kekuasaan, ketimbang sebagai seni menata kota atau seni menata hidup bersama secara beradab-etis.

Padahal, idealnya semakin tinggi posisi atau jabatan politik seseorang, mestinya semakin rendah sisi animalitasnya. Pemimpin harus mampu meredam dorongan rendahan hewaninya, agar tidak membahayakan rakyat dan negara. Dengan kata lain, pemimpin adalah mereka yang berkorban untuk negara, bukan mengorbankan negara untuk kepentingannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun