Mohon tunggu...
Esti Setyowati
Esti Setyowati Mohon Tunggu... Seniman - Bismillah

Librocubicularist.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ulang Tahun Pernikahan

19 Juli 2018   15:30 Diperbarui: 19 Juli 2018   15:30 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini aku dibangunkan oleh suara bising panci dan penggorengan. Aku ingat hari ini adalah hari yang istimewa bagi ibu. Ulang tahun pernikahan.

Bagi ibu, bapak masih berada di tengah tengah kami. Meski kuakui sudah terlalu sering kuingatkan bahwa beliau sudah punya kehidupan yang baru.Begitu besarnya rasa cinta ibu pada lelaki yang telah mengkhianatinya itu. Hingga tujuh tahun setelah bapak tak pernah pulang pun, ibu rutin merayakan hari ulang tahun pernikahannya. Meskipun ibu memasak sambil kadang kadang berderai derai air matanya, meskipun masih menganga luka di hatinya. Ibu sangat menyayangi bapak.

Sebuah tumpeng nasi kuning tersaji lengkap dengan berbagai jenis lauk. Buah buah segar terhidang. Ada banyak camilan yang ibu sengaja buat jauh jauh hari. Es limun dan kopi susu kesukaan bapak juga tersedia. Semua diletakkan sedemikian rapi di atas meja makan. Terlihat seperti sesajen, mengingat manusia yang ibu impi impikan tidak akan pernah hadir. Ibu memintaku duduk di sebelahnya.  Air mukanya dipaksa berseri seri namun aku masih bisa mencerna rona kesedihan pada wajahnya.

            "Ini adalah ulang tahun ke tiga puluh tiga" kata beliau. Meskipun tak ada lillin berbentuk angka tiga berjumlah dua, semuanya masih tampak meriah. Ibu mengajakku berdoa. Menitikkan air matanya yang tambah menyayat perasaanku. Kami berpelukan dalam haru. Ibu bilang, di hatinya masih ada bapak.

Tangan ibu gemetar mengambilkan bagian nasi kuningku. Menambahkan lauk pauk yang kusuka. Dia mengambil untuk dirinya sendiri dengan bagian yang amat sedikit. Selepas ini ada kegiatan yang rutin kami lakukan untuk menghabiskan masakan, menyambangi panti asuhan.

            "Rani, bagaimana hubunganmu dengan Fahmi?" tanya beliau tiba tiba. Hampir saja aku tersedak. Buru buru kusodokkan bibir gelas agar ibu tidak curiga bahwa aku terkejut dengan pertanyaannya.

Dalam anggukan dan kalimat kalimat yang meluncur dari mulutku sekilas kukatakan bahwa kami baik baik saja. Aku mencintainya dan dia juga menyayangiku layaknya sepasang kekasih. Ibu tersenyum, tenang. Dia mencicil rasa bahagia, mungkin juga untuk sejenak beliau dapat melupakan bapak.

Harus kuakui bahwa kegagalan rumah tangga ibu menjadikanku takut untuk menikah. Masih terang dalam ingatan bagaimana di kala itu bapak meninggalkan ibu. Berbulan bulan ibu terpuruk, sakit lahir dan batin. Ibu harus merelakan kebahagiaan keluarganya terenggut oleh kehadiran perempuan lain. Bapak meninggalkan kami berdua, mengejar kebahagiaan yang katanya tidak pernah kami berikan.

Aku tidak membenci bapak, namun semenjak saat itu aku begitu mencintai ibu. Mencintai caranya membalas dendam akan perbuatan bapak. Mencintai sikap ibu yang menahan amarahku dan mencegah rencanaku untuk menghilangkan perempuan baru bapak dari bumi. Bahkan aku tidak peduli dengan pekerjaan lamaku yang mengharuskan kami berdua berpisah berlama lama, kutinggalkan. Aku mencari pekerjaan baru yang dekat dengan rumah. Meskipun dengan gaji kecil, aku hanya ingin berjumpa lebih sering dengan ibu.

            "Jaga baik baik Fahmi. Ingat umurmu sudah cukup matang. Ibu tidak butuh kau beri banyak uang, Ibu ingin melihat kamu bahagia" bisiknya sembari memegang pundakku. Aku menahan diri untuk menangis. Bayangan bapak melayang layang. Bukankah dulu bapak juga menjanjikan bahagia untuk ibu? Bukankah dulu bapak juga figur paling sempurna untuk seorang ayah?.

Aku mengangguk. Kalut dengan pikiranku sendiri. Semakin hari aku merasa bahwa pernikahan semakin membuatku takut. Perpisahan memang bukan gunting kebahagiaan. Namun bukankah dari sanalah sesungguhnya ladang subur kebahagiaan dirusak?. Aku teringat betapa baiknya hati bapak selama kami masih disatukan dalam rumah ini. Tangan hangatnya, deretan gigi putihnya, suara beratnya yang menentramkan ketika mendongeng untukku sebelum tidur kini bagai berputar putar di kepalaku. Akankah ini sebuah bentuk keadilan yang Tuhan berikan untuk menguji hati ibuku yang tabah?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun