Mohon tunggu...
Amri Hilman
Amri Hilman Mohon Tunggu...

Wartawan Kacangan

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Selendang Mayang Khas Betawi

14 November 2012   05:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:24 1461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Mungkin tidak banyak yang tahu apaSelendang Mayang itu. Selendang Mayang merupakan jajanan asli betawi yang sudah jarang keberadaannya saat ini sebagai salah satu makanan tradisional Indonesia. Warnanya yang beraneka ragam, seperti merah, hijau, dan putih, membuat makanan ini disebut Selendang Mayang yang juga mempunyai banyak warna. Meskipun hanya berbahan dasar sagu aren dan dengan siraman kuah santan dan gula merah, jajanan ini masih diminati oleh para penikmat kuliner.

Pembuatan Selendang Mayang sebagai makanan yang perlu dilestarikan ini tidak terlalu sulit. Yang pertama adalah mengadoni bahan utama, yaitu sagu aren dalam wajan besar. Kemudian diaduk hingga mengental. Baru setelah itu dituang ke dalam nampan dan tunggu sampai menjadi kenyal. Biasanya butuh waktu sampai satu hari untuk membuat sagu aren tersebut menjadi kenyal seperti agar. Satu nampan Selendang Mayang mampu bertahan paling lama sampai dua hari. Akan tetapi, biasanya para pedagang mampu menjual habis satu nampan dalam satu hari.

Banyak Selendang Mayang yang diberi pewarna seperti merah dan hijau. Warna tersebut berasal dari pasta sebagai aroma dan tambahan rasa. Bahan pewarna ini tidak meracuni tubuh karena terbuat dari bahan alami. Selain itu, pasta juga sering digunakan sebagai bahan pewarna untuk kue dan minuman.

Saya menemui penjual Es Selendang Mayang di daerah Kalisari, Amin namanya. Amin yang biasa menjajakan jajanannya di daerah sekitar rumah kontrakannya antara Gandaria sampai Kalisari, mengaku membuatnya tidak sendirian. “Awalnya, teman saya yang juga pedagang Selendang Mayang mengajarkan saya. Baru setelah itu saya membuatnya sendiri tanpa dibantu olehnya,” UjarAmin sambil melayani para pembeli.

Dalam berjualan, Bang Amin tidak mematok waktu kapan pulang dan berangkat selama seharinya. Jika pembeli ramai dan hanya membawa satu nampan Selendang Mayang, Bang Amin bisa pulang lebih cepat. Cuaca juga mempengaruhi dia untuk bisa pulang lebih cepat atau tidak. “Kan kalau hujan dagangan suka tidak laku, jadi saya lebih lama berkelilingnya.”Ucap Amin warga asli Cirebon ini.

Bapak penjual makanan khas betawi yang sebenarnya bukan orang asli betawi ini, biasa membawa dua nampan Selendang Mayang saat sedang musim panas. Penjualan Selendang Mayang saat sedang musim panas biasanya lebih menguntungkan. “Ya, kalau dihitung-hitung pendapatan menjual Es Selendang Mayang ini bisa mencapai Rp 50.000 per-harinya.” Pendapatan ini juga tidak tentu, dilihat dari seporsi Selendang Mayang yang dihargai Rp 2.000, tapi kadang ada yang membeli dengan harga Rp 3.000 – Rp 5.000 per-mangkoknya.

Es Selendang Mayang juga sering dipesan untuk acara-acara tertentu. Umumnya banyak yang memesan untuk acara khas betawi seperti nikahan, khitanan, dan acara khas betawi lainnya. Satu nampan Selendang Mayang dihargai Rp 140.000. Itu sudah termasuk gula, santan dan Amin sendiri sebagai pelayannya.

Makanan khas betawi biasanya banyak dijual di daerah Kota Tua. Para pedagang yang berasal dari luar daerah juga banyak yang menjajakan makanannya di sana. Umumnya, pembeli di tempat wisata, seperti Kota Tua, lebih banyak dan pedagang bisa mematok harga lebih untuk setiap porsinya. Oleh karena itu, omset yang mereka dapat bisa jauh lebih besar dibanding berjualan seperti biasa. Tetapi, beda dengan Amin. Berjualan keliling seperti yang biasa dia lakukan menurutnya sudah menguntungkan. Merasa bukan tinggal di tempat kelahirannya, Amin seperti ‘diasingkan’ bila pergi ke tempat yang jauh. “Lagian, saya kan bukan asli orang sini dan saya belum pernah ke Kota Tua,” kata Bang Amin pelan.

Tidak peduli di mana pun makanan tradisional ini dijual. Yang jelas, kita sebagai warga Indonesia harus mau melestarikannya. Jangan sampai warisan leluhur ini hilang peradabannya ditelan bumi. Untuk masyarakat lain juga harus sering-sering membeli makanan tradisional. Selain tidak kalah nikmat dengan makanan modern yang harganya jauh lebih mahal, makanan tradisional juga baik untuk tubuh karena sedikitnya penggunaan bahan pewarna. “Mungkin seharusnya, selain dari kita, ada lembaga yang mengurusi ini semua. Membuat lestari makanan tradisional,” demikian Amin mengakhiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun