Mohon tunggu...
Imas Masitoh
Imas Masitoh Mohon Tunggu... Guru SD yang baru saja selesai mengikuti pendidikan guru penggerak angkatan 8

Saya nimas, guru SD yang ingin terus konsisten belajar menulis meski menghasilkan karya tulisan yang sederhana semoga bisa menjadi pemicu untuk menjadi penulis yang bisa memberi inspirasi bagi pembaca. Senang sekali di bergabung di kompasiana karena bisa menyalurkan hobi saya.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Menggapai Puncak Rindu: Kisah Armuzna di Tanah Suci

5 Juni 2025   20:59 Diperbarui: 5 Juni 2025   20:59 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setahun telah berlalu, namun rasa itu tak pernah pudar. Setiap kali mendengar kisah jemaah haji yang berangkat, hati ini kembali bergetar, seolah ikut merasakan kembali setiap jejak langkah di Tanah Suci. Terutama kenangan akan Puncak Ibadah Haji: Armuzna -- Arafah, Muzdalifah, dan Mina -- yang menjadi inti dari perjalanan spiritual yang tak terlupakan. Sebuah perjalanan yang bukan hanya tentang menunaikan rukun Islam kelima, tetapi juga tentang menemukan diri, membersihkan jiwa, dan merasakan kedekatan yang belum pernah ada sebelumnya dengan Sang Pencipta.

Menuju Arafah, Membawa Rindu yang Tak Terbendung

Waktu itu, 14 Juni 2024. Matahari pagi Makkah memancarkan kehangatan, namun aura di antara para jemaah jauh lebih membakar. Hari itu adalah awal dari puncak ibadah haji, sebuah momen yang telah kami nantikan seumur hidup. Setiap tahapan ibadah ini adalah ujian sekaligus anugerah, dan kami tahu, hanya dengan kesiapan lahir dan batin, kekuatan fisik dan mental, kami bisa melaluinya. Bahkan beberapa hari sebelumnya semua jamaah di hotel kami di lantai 9 melakukan persiapan berupa mendengarkan arahan dari pembimbing KBIH dan petugas haji. Tak lupa kami melakukakan doa bersama, senam haji, sampai pemeriksaan kesehatan untuk memastikan kondisi fisik yang prima dari setiap jamaah.

Sekitar pukul 10.00, kami mulai beranjak dari hotel, bergabung dalam antrean panjang di lobi. Suasana di sana begitu hidup. Gema takbir dan talbiyah yang syahdu bersahutan, bercampur dengan bisik-bisik doa yang tulus dan harapan yang membuncah. Aku bisa melihat mata-mata yang berkaca-kaca, senyum-senyum haru, dan pelukan-pelukan erat antar sesama jemaah, seolah saling menguatkan untuk perjalanan suci ini.

Pukul 11.00, bus mulai bergerak perlahan. Kaca jendela memantulkan wajah-wajah jemaah yang penuh harap. Sepanjang perjalanan, lantunan talbiyah tak pernah berhenti. 

Labbaik Allahumma Labbaik... Labbaika la syarika laka labbaik... Innal hamda wan ni'mata laka wal mulk, la syarika lak... 

Setiap kata yang terucap seolah menembus relung jiwa, menenangkan degup jantung yang berpacu kencang. Ada rasa syukur yang meluap, rasa haru yang tak tertahankan. Air mata ini tak bisa dibendung. Bercampur aduk rasa cemas akankah semua berjalan lancar, khawatir akan kekurangan diri, namun di atas segalanya, keyakinan kepada Allah-lah yang membuatku kuat, yakin bisa menjalani semua dengan baik. Ini bukan hanya perjalanan fisik, tetapi ziarah jiwa yang dalam.

Di Padang Arafah, Memahat Makna Wukuf dan Perenungan Diri

Akhirnya, kami tiba di Arafah menjelang waktu Asar. Pemandangan yang terhampar di hadapanku sungguh luar biasa. Padang luas yang dipenuhi jutaan tenda putih, berjejer rapi bak permadani raksasa, seolah menjadi miniatur padang mahsyar yang sering diceritakan. Para petugas dengan sigap mengarahkan kami menuju tenda rombongan. Segalanya serba putih, dari atap tenda hingga alas duduk di dalamnya. Pantas saja jika mereka yang sudah pernah berhaji selalu berpesan agar berhati-hati selama di Arafah. Aku langsung merasa sedikit "tersesat" hanya dengan melihat sekeliling, apalagi jika harus keluar tenda. Ada kekhawatiran yang nyata untuk tidak bisa menemukan kembali tenda rombongan saking luas dan samanya. Bersama jamaah yang sekamar denganku, Umi Hj. Muyasaroh, Mbu Hj. Marwiyah, Mbu Hj. Sri, dan Mak Hj. Upah kami selalu beriringan. Saling mengingatkan dan saling mengantar jika ingin ke toilet. Umi Hj. Muy selalu mengingatkan kami agar benar-benar menjaga aurat. Ketika berwudhu sebaiknya di dalam kamar mandi saja, meskipun sesama perempuan tetap akan terlihat aurat.

Di tenda Arafah inilah kami akan melaksanakan wukuf, inti dari ibadah haji. Dengan mengenakan pakaian ihram, yang putih bersih dan sederhana, kami diingatkan untuk menjaga lahir dan batin dari segala larangan. Rambut harus tertutup sempurna, tidak memakai wangi-wangian sedikit pun, dan yang terpenting, menjaga tutur kata dan perbuatan. Saat itu, yang ada hanyalah memperbanyak dzikir, tafakur, merenungi setiap jejak kehidupan, dan bertaubat atas segala dosa yang telah lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun