Mohon tunggu...
Imanuel Mahole
Imanuel Mahole Mohon Tunggu... Penulis - Sarjana Hukum

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dilematis konstitusional MK terhadap JR UU MK terbaru 2020 (bayang-bayang Nemo Judex In Causa Sua dan Ius Curia Novit)

14 September 2020   18:30 Diperbarui: 14 September 2020   18:48 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


A. Latar Belakang

Saat ini, pada akhir Agustus sampai awal September tahun 2020, DPR telah selesai membahas RUU MK Perubahan ketiga atas UU No. 23 Tahun 2003 dan telah disetujui menjadi Undang-Undang. Hal inipun tidak lepas dari pro dan kontra dari berbagai kalangan terhadap masalah persetujuan RUU MK yang seperti ‘kilat’ prosesnya di DPR. Poin yang paling krusial dalam RUU tersebut adalah soal jabatan hakim konstitusi. Salah satu lembaga riset independen, KoDe Inisiatif yang menjadi Pemohon dalam hal pengujian, bakal melayangkan pengujian baik dari segi formil maupun materil atas RUU MK yang disahkan menjadi UU itu ke MK.

Pengaturan terhadap UU MK yang baru disahkan itu diantaranya mengenai penghapusan periodeisasi jabatan hakim konstitusi per lima tahun; perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga usia pensiun (70 tahun); mengubah masa jabatan ketua dan wakil ketua MK dari 2,5 tahun menjadi setiap 5 tahun. Namun, pengaturan tentang jabatan hakim konstitusi itu tidak dibarengi dengan penguatan pengawasan hakim konstitusi, pengetatan penegakan kode etik serta penyempurnaan dan penyeragaman standar rekrutmen hakim konstitusi di setiap lembaga pengusul.

Violla Reininda selaku Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan KoDe Inisiatif menyampaikan, setidaknya ada lima alasan agar MK membatalkan UU MK terbaru yang sarat kepentingan politik ini : Pertama, menarik MK keluar dari pusaran konflik kepentingan serta alat politik legislator di cabang kekuasaan kehakiman; Kedua, sebagai upaya menjaga kemandirian MK dalam memutus perkara. Volla menambahkan bahwa agar MK tetap mengedepankan perspektif konstitusionalisme dan mempertimbangkan aspek kepentingan publik; Ketiga, menjaga MK agar tetap optimal dan profesional menjalankan prinsip checks and balances terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif melalui pelaksanaan kewenangan pengujian undang-undang ini; Keempat, mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK sebagai salah satu “anak kandung” reformasi yang selama ini progresif melindungi dan memulihkan hak-hak konstitusional warga negara serta mengoreksi produk legislasi yang inkonstitusional; Kelima, pengujian UU MK terbaru untuk kepentingan yang lebih luas yakni memutus legitimasi dan mendobrak praktik pembentukan UU yang “menabrak” aturan standar prosedural dan konstitusional. Baginya, jalan menguji UU MK terbaru ini menjadi pilihan tepat lantaran tak ada kanal konstitusional lain yang diberikan UUD 1945 untuk mengoreksi produk UU yang dianggap bermasalah.

Namun demikian, tidak terlepas dari persoalan di atas, nyatanya juga MK diperhadapkan dengan kehadiran asas nemo judex in causa sua. Keadaan ini  membuat MK bakalan ‘bimbang’ terkait persoalan konstitusional terhadap dirinya sendiri. Asas ini hendak mengambarkan bahwa MK tidak boleh memutus hal-hal yang berkaitan dengan dirinya. Dengan mengimplementasikan asas tadi, boleh-boleh saja MK tidak akan memutus perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Tetapi pada nyatanya MK juga dijegal oleh asas ius curia novit, di mana asas ini menyatakan bahwa MK tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya dan hakim wajib memeriksa perkara tersebut karena hakim dianggap mengetahui hukum.

Melalui judicial review UU MK terbaru Tahun 2020, tentunya MK akan berada pada keadaan ‘dilematis’ dalam melaksanakan kewenangannya. Hal ini juga yang menurut penulis perlu untuk ditinjau secara normatif agar supaya kemudian mendapatkan kedudukan hukum yang jelas dan bersifat konstitusional terhadap judicial review UU MK 2020.

B. PEMBAHASAN

Asas Nemo judex In Causa Sua, Ius Curia Novit dan implikasinya dalam proses peradilan Mahkamah Konstitusi

Menurut Moh Mahfud MD, salah satu asas yang ada pada MK adalah asas nemo judex in causa sua adalah asas yang menyatakan bahwa hakim tidak membuat putusan-putusan yang menyangkut kepentingannya sendiri baik secara langsung maupun secara tidak langsung, dengan kata lain hakim tidak memeriksa dan memutus atau menjadi hakim dalam hal-hal yang terkait dengan dirinya.

Asas ius curia novit adalah pepatah lain mengenai hukum yang menyatakan hakim dianggap tahu hukum atau “the court know the law”.  Dalam hal mendudukan asas nemo judex in causa sua dani ius curia novit secara konstitusional, perlu ditinjau dalam peraturan perundang-undangan.

Asas nemo judex in causa sua secara normatif diatur dalam Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu: “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara”.

Sedangkan asas ius curia novit secara normatif juga diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Dalam melihat asas nemo judex in causa sua, yang menjadi sebab hadirnya asas ini ialan sebagai perwujudan dari imparsialitas (ketidak-berpihakan/impartiality) hakim sebagai pemberi keadilan. Imparsialitas hakim harus terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara, bukan pula menjadi pemutus perkaranya sendiri.

Berbicara terkait asas nemo judex in causa sua dalam konteks sistem hukum Indonesia, hakim harus mengundurkan diri kalau dirinya memiliki hubungan semenda dengan salah satu pihak yang berperkara atau diperiksa di muka pengadilan. Karenanya, hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika ia melihat ada potensi imparsialitas  dengan demikian argumentasi ini menegaskan bahwa hakim tidak boleh menyimpangi asas nemo judex in causa sua.

Di lain pihak, MK juga menganut sebuah asas ius curia novit yang mengamanatkan untuk memberikan penyelesaian masalah hukum yang diajukan kepadanya. Bersandar dari penjelasan tersebut, maka menjadi sebuah kewajiban bagi MK untuk menyelesaikan permasalahan konstitusional yang diajukan kepadanya.

Terkait implikasi konstitusionalnya terhadap kedua asas ini, tidak menutup kemungkinan akan beresonansi pada kewenangan MK dalam menyelesaikan suatu perkara yang diajukan terhadapnya. Bila meninjau pada ketentuan normatif UU dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 jo Pasal 10 ayat (1) point a UU No 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang, yaitu MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang sifatnya final untuk menguji UU terhadap UUD NRI Tahun 1945


Apabila ditinjau secara eksplisit terhadap frasa kata ‘Hakim’ pada Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal ini merujuk pada hakim MA dan hakim yang berada dalam peradilan di bawahnya. Singkatnya, Hakim Konstitusi tidak terikat secara langsung dengan asas nemo judex in causa sus yang tercantum dalam ketentuan normatif tersebut.

Pada kesempatan sebelumnya, MK telah menegaskan bahwa, prinsip imparsialitas sebenarnya dititik beratkan hanya dalam proses pemeriksaan perkara biasa, seperti yang menyangkut perkara perkara atau perdata, dalam hal mana faktor konflik kepentingan individual merupakan objek sengketa (objectum litis) yang diperiksa dan diadili oleh hakim.  Konsep inilah yang perlu diingat bahwa ketentuan yang akan di uji oleh MK adalah bukan hanya kepentingan MK secara kelembagaan, tetapi juga menyangkut kepentingan masyatakat luas yang dengan berlakunya ketentuan yang di uji itu berpotensi mereduksi hak konstitusional dari pemohon.

Menurut analisa penulis, implikasi konstitusional yang melingkupi MK baik secara kelembagaan maupun proses peradilan terkait asas nemo judex in causa sua dan ius curia novit  yaitu: 1. Sebagai lembaga peradilan, MK perlu mendudukan perkara terlebih dahulu dalam kerangka normatif; 2. Terdapat perbedaan implikasi konstitusinal dari asas nemo judex in causa sua pada peradilan biasa dan peradilan konstitusional yang dimiliki oleh MK.

Rekam Jejak Mahkamah Konstitusi Tehadap Perkara Yang dianggap Sejenis sebelumnya.

Apabila melihat tindakan MK terhadap perkara yang sejenis sebelumnya, memang sudah ada beberapa putusan yang dikeluarkan oleh MK sendiri. Beberapa contohnya yaitu: Putusan MK No. 066/PUU- II/2004; No. 005/PUU-IV/2006; No.49/PUU-IX/2011; No. 34/PUU-X/2012; No. 7/PUU-IX/2013 dan No. 1-2/PUU-XII/2014. Putusan-putusan tersebut berhubungan dengan pengaturan tentang MK dalam UU.

Singkatnya, kesemua putusan-putusan tersebut sampai pada proses pembacaan putusan, disinyalir telah mengenyampikan asas nemo judex in causa sua pada proses peradilan yang dilakukan oleh MK.

Dengan hadirnya sikap MK seperti itu, secara tidak sadar telah mendudukan perkara sejenis putusan-putusan yang telah disebutkan sebelumnya sebagai konvensi ketatanegaraan dalam proses beracaranya di peradilan konstitusional Mahkamah Konstitusi.

Upaya konstitusional yang tepat oleh Mahkamah Konstitusi terhadap pengaruh asas Nemo Judex In Causa Sua dan Ius Curia Novit


Keberadaaan asas nemo judex in causa sua, memberikan pilihan kepada MK untuk mematuhi sebuah asas peradilan atau menjamin hak konstitusional warga negara. Mahkamah Konstitusi memilih melanggar asas nemo iudex in causa sua dengan melakukan judicial review yang berkaitan dengan MK meskipun memiliki keterkaitan dengan obyek perkara.

Adanya penerapan prinsip imparsialitas tidak dapat dijadikan alasan untuk mengesampingkan kewajiban konstitusional MK yang lebih utama untuk memeriksa dan memutus permohonan, sehingga MK lebih menekankan pada fungsi dan tugasnya mengawal dan mempertahankan konstitusi dengan tetap menjaga prinsip imparsialitas dalam keseluruhan proses. Dalam memeriksa dan mengadili perkara ini MK menjamin akan tetap menjaga independensi, imparsialitas dan integritasnya guna menegakkan konstitusi.

Jika merujuk pada jalur  konstitusionalitas, tidak ada kanal lain yang dapat ditempuh untuk dapat menguji konstitusionalitas UU MK terbaru 2020 yang sarat dengan kepentingan politik elite. Sebagai the guardian of constitusion, MK wajib memahami nilai-nilai yang terkandung dalam UUD NRI Tahun 1945, yaitu salah satunya setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Upaya MK sebagai “anak kandung” reformasi, harus menjaga proses berdemokrasi yang ada di Indonesia.

Dengan melihat bahwa jabatan Hakim Konstitusi sampai usia 70 tahun dengan tidak melebihi 15 tahun masa kerja, dapat dipandang berpotensi sebagai wujud ‘kaku’ nya proses check and balances dalam internal Hakim Konstitusi. Terlebih jika kemudian ketentuan ini tetap dipertahankan, maka akan  berdampak direduksinya siklus kesempatan pada warga negara lain untuk berpartisipasi sebagai Hakim Konstitusi.

Penulis menganalisa terhadap upaya MK ini yaitu:

1. Upaya MK harus mendudukan perspektinya pada landasan konstitusional agar kemudian tidak menjadi batal demi hukum segala upaya  yang di ambil oleh MK.

2.Mahkamah Konstitusi dapat mengenyampikan asas nemo judex in causa sua dan mengedepankan kewenangan MK untuk menguji UU terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagai bentuk pertanggungjawab kewenangan secara konstitusional pada masyarakat. Dalam hal ini juga memaknai asas ius curia novit sebagai bagian yang tidak terpisahkan terhadap pengawalan kepentingan konstitusional masyarakat2.Mahkamah Konstitusi dapat mengenyampikan asas nemo judex in causa sua dan mengedepankan kewenangan MK untuk menguji UU terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagai bentuk pertanggungjawab kewenangan secara konstitusional pada masyarakat.. Dalam hal ini juga memaknai asas ius curia novit sebagai bagian yang tidak terpisahkan terhadap pengawalan kepentingan konstitusional masyarakat luas.

3.Masyarakat luas akan dirugikan karena direduksinya proses partisipasi ke MK lewat keberlakuan ketentuan yang dimohonkan ke MK.

Meneropong ke kehidupan di pengadilan, seorang hakim juga memiliki kebebasan dalam melalukan proses peradilan yang kepadanya dijamin oleh ketentuan normatif yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tengang Kekuasaan Kehakiman yaitu Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Dengan keberadaan ketentuan itulah, pemaknaan proses peradilan pun mempunyai dudukan yang jelas untuk menentukan sikap terhadap hal yang dilakukan dengan tidak ada intervensi dari berbagai pihak.

C. Penutup

Kesimpulan

1.Sebagai lembaga peradilan, MK perlu mendudukan perkara terlebih dahulu dalam kerangka normatif. Terdapat perbedaan implikasi konstitusinal dari asas nemo judex in causa sua pada peradilan biasa dan peradilan konstitusional yang dimiliki oleh MK.

2.Upaya MK harus mendudukan perspektinya pada landasan konstitusional agar kemudian tidak menjadi batal demi hukum segala upaya  yang di ambil oleh MK. Mahkamah Konstitusi dapat mengenyampikan asas nemo judex in causa sua dan mengedepankan kewenangan MK untuk menguji UU terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagai bentuk pertanggungjawab kewenangan secara konstitusional pada masyarakat.. Dalam hal ini juga memaknai asas ius curia novit sebagai bagian yang tidak terpisahkan terhadap pengawalan kepentingan konstitusional masyarakat luas. Masyarakat luas akan dirugikan karena direduksinya proses partisipasi ke MK lewat keberlakuan ketentuan yang dimohonkan ke MK.

Saran

1. Perlu peniadaan terhadap keberlakuan asas nemo judex in causa sua dalam proses peradilan di MK, agar kemudian memberikan batasan yang jelas terkait pagar etik tersebut dalam kode etik baik secara pengawasaan kelembagaan maupun peraturan tertulis untuk Hakim Konsitusi.

2. Memperkuat hak prerogatif secara kolektif kolegial dalam hal perluasan kewenangan memeriksa dan mengadili perkara oleh Hakim Konsitusi dalam menyelesaikan persoalan tumpang tindih asas dalam hukum acara MK.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun