Mohon tunggu...
Jurnalis Advokasi
Jurnalis Advokasi Mohon Tunggu... Jurnalis Advokasi menuju jurnalisme solusi : Pejuang agraria, lingkungan dan HAM

"Temukan benih kemuliaan itu, sejatinya ada dalam dirimu"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Menteri Nusron Wahid Bicara Plasma 20 Persen, Saya Terbayang Wajah-wajah Petani Pasangkayu yang dizalimi

25 April 2025   13:08 Diperbarui: 25 April 2025   13:13 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat bersama dengan para petani pejuang agraria di Pondok di Desa Lariang, Pasangkayu, Sulbar (foto jb)

Puwa sadar, perjuangan ini bukan jalan singkat. Ia mengajak warga kembali percaya bahwa kemenangan hanya bisa dicapai jika kita terus bersama, saling jaga, dan tetap percaya pada perjuangan kolektif.

Antara Janji Hukum dan Realita di Lapangan Kewajiban plasma bukan baru kemarin disahkan. Permentan No. 26 Tahun 2007 Pasal 11 sudah tegas mengatur kewajiban perusahaan untuk menyediakan 20 persen dari total lahan HGU sebagai kebun plasma. Tapi yang terjadi di lapangan sering kali sebaliknya: penyangkalan, manipulasi, hingga pengalihan tanggung jawab kepada koperasi binaan perusahaan.

Saya berkali-kali menemui perusahaan yang berdalih bahwa plasma harus dibangun di luar HGU, seolah-olah masyarakat harus mencari lahan sendiri. Padahal jelas, itu bukan makna dari regulasi. Plasma adalah bagian dari konsesi. Dan kewajiban membangunnya adalah bagian dari keadilan sosial.

Jangan Terjebak Euforia, Perjuangan Masih Panjang Saya terus mengingatkan warga untuk tidak terlalu larut dalam euforia. Pernyataan menteri memang memberi angin segar, tapi implementasi di lapangan akan membutuhkan pengawasan dan tekanan publik yang berkelanjutan. Ini bukan waktu untuk berhenti, tapi untuk menguatkan barisan.

Saya juga mengingatkan: perjuangan ini bukan soal mendapatkan lahan semata, lalu selesai. Ini soal memastikan bahwa anak-anak dan cucu-cucu kita kelak bisa hidup dari tanah yang diwariskan dengan adil dan legal. Kita sedang menyusun fondasi masa depan, bukan sekadar menuntaskan rasa marah hari ini.

Pesan Terakhir: Jangan Biarkan Perjuangan Ini Diseret oleh Ego Saya tahu perjuangan ini melelahkan. Saya tahu ada rasa curiga, ada rasa kecewa, bahkan kepada sesama pejuang. Tapi saya mohon, jangan biarkan ego merusak arah. Kita tak sedang bertarung untuk diri sendiri, tapi untuk masa depan yang lebih luas. Kalau hari ini ada sedikit cahaya, itu karena kita sudah lama menyalakan obor meski dalam gelap.

Semoga suara Lamisi, harapan Puwa Unu, dan kerja kolektif kita semua menjadi bagian dari perubahan yang hakiki. Dan semoga suatu hari nanti, ketika kita melihat kembali ke tanah ini, kita bisa berkata dengan bangga:

"Ya, kami pernah memperjuangkannya. Dan kami tidak menyerah."

Salam jurnalis advokasi pejuang agraria.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun