Bulan suci Ramadan seharusnya menjadi momentum refleksi bagi kita semua, terutama bagi mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Di saat sebagian masyarakat berjuang untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, justru ada pejabat dan orang-orang kaya yang dengan bangga memamerkan aset baru, kendaraan mewah, atau gaya hidup berlebihan. Pemandangan ini bukan hanya menyakitkan, tetapi juga mencerminkan ketimpangan sosial yang semakin melebar di negeri ini.
Ketimpangan yang Mencolok di Tengah Kesulitan
Saat mengunjungi pasar atau pusat perbelanjaan, khususnya menjelang berbuka puasa, kita bisa melihat sendiri bagaimana daya beli masyarakat semakin menurun. Banyak orang hanya mampu membeli kebutuhan dapur dalam jumlah yang sangat kecil---sekadar untuk bertahan hidup. Ada yang hanya bisa membeli cabai, bawang, dan tomat dengan uang Rp2.000 hingga Rp5.000, bahkan ada yang meminta agar beberapa jenis sayuran dicampur dalam satu kantong kecil karena uang mereka sangat terbatas.
Sementara itu, di layar televisi dan media sosial, kita disuguhi pemandangan pejabat yang bangga memperlihatkan harta kekayaannya. Mobil baru, rumah mewah, dan liburan ke luar negeri seolah menjadi ajang pamer kekuasaan di saat rakyat mereka sendiri kesulitan membeli beras. Pertanyaannya, di mana hati nurani mereka?
Negara Harus Hadir untuk Rakyat
Kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab negara. Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 UUD 1945, negara berkewajiban memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. Namun, realitas di lapangan berkata lain. Alih-alih memberikan solusi konkret, kebijakan yang dibuat justru sering kali semakin menyulitkan rakyat kecil. Subsidi dicabut, harga kebutuhan pokok naik, sementara korupsi tetap merajalela. Ironisnya, saat rakyat mengeluh, mereka malah disuruh untuk "bersyukur" dan "hidup sederhana" oleh para pejabat yang hidup bergelimang kemewahan.
Dalam berbagai kajian sosial dan ekonomi, kesejahteraan rakyat yang merata adalah kunci kemajuan sebuah negara. Ketika masyarakat memiliki pekerjaan yang layak, penghasilan yang cukup, dan kesejahteraan yang terjamin, maka mereka akan mampu berkontribusi bagi negara. Pajak akan dibayar dengan lancar, tingkat kriminalitas menurun, dan stabilitas sosial akan terjaga. Sebaliknya, jika rakyat dibiarkan kelaparan, maka yang terjadi adalah peningkatan angka kejahatan, kerusuhan sosial, dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Pemimpin Sejati adalah yang Peduli pada Rakyatnya
Kepada para pemimpin dan pejabat negara, ingatlah bahwa kekuasaan bukanlah hak untuk menikmati kemewahan semata, tetapi amanah untuk mengabdi kepada rakyat. Rasulullah SAW pernah berdoa:
"Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia." (HR Muslim).
Doa ini menjadi pengingat bahwa kepemimpinan haruslah membawa kesejahteraan, bukan kesengsaraan. Jangan sampai kemewahan yang dipamerkan hari ini menjadi sumber kehancuran di kemudian hari. Jika benar-benar ingin dikenang sebagai pemimpin yang baik, maka berhentilah menampilkan gaya hidup hedonis di tengah penderitaan rakyat. Sebaliknya, tunjukkan kepedulian yang nyata melalui kebijakan yang berpihak kepada masyarakat kecil.