Mohon tunggu...
Jurnalis Advokasi
Jurnalis Advokasi Mohon Tunggu... Jurnalis Advokasi menuju jurnalisme solusi : Pejuang agraria, lingkungan dan HAM

"Temukan benih kemuliaan itu, sejatinya ada dalam dirimu"

Selanjutnya

Tutup

Makassar

Jurnalis atau Pedagang Berita? Saat Idealisme Dikorbankan demi Uang

2 Maret 2025   15:34 Diperbarui: 2 Maret 2025   15:34 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iman Sadewa Rukka - Saat tugas jurnalis di Mamuju Utara mendampingi masyarakat petani di Pasangkayu, sulbar (dok iman sadewa rukka)

Menjadi seorang jurnalis bukan sekadar tentang menulis berita atau mengejar eksklusivitas. Lebih dari itu, jurnalisme adalah profesi yang mengemban amanah besar---menyampaikan kebenaran kepada publik dengan berpegang teguh pada kaidah jurnalistik dan kode etik. Dalam dunia yang semakin penuh dengan kepentingan dan tekanan ekonomi, mempertahankan idealisme sebagai jurnalis menjadi tantangan yang tidak mudah.

Seorang jurnalis sejati memahami bahwa tugasnya bukan sekadar mencari keuntungan pribadi atau kepentingan sesaat. Ia adalah pilar demokrasi, jembatan antara fakta dan masyarakat, serta penjaga kebenaran yang harus selalu berpihak pada kepentingan publik, bukan kelompok tertentu apalagi individu yang ingin mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara licik.

Namun, realitas di lapangan tidak selalu sejalan dengan idealisme yang diharapkan. Saat ini, tak sedikit jurnalis yang mulai terjebak dalam pragmatisme---menulis bukan untuk mengungkap fakta, tetapi sekadar untuk menyudutkan seseorang demi keuntungan ekonomi. Berita yang seharusnya menyajikan kebenaran, justru menjadi alat untuk menyerang individu atau pejabat publik dengan motif tersembunyi. Lebih parah lagi, beberapa di antaranya bahkan tidak memahami esensi dari berita yang mereka tulis, hanya mengikuti arus atau sekadar memenuhi permintaan pihak tertentu.

Fenomena ini semakin meresahkan ketika jurnalis mulai menjadikan profesinya sebagai alat transaksi. Ada yang menulis berita bernada negatif terhadap seorang pejabat, hanya untuk kemudian menghapus atau mengubah nada pemberitaan setelah mendapatkan imbalan. Ini bukan lagi jurnalisme, melainkan bentuk lain dari pemerasan terselubung yang merusak integritas profesi wartawan.

Jika jurnalis mulai kehilangan independensinya, maka dampaknya sangat berbahaya. Publik akan kehilangan kepercayaan terhadap media, kebebasan pers terancam, dan kebenaran semakin sulit ditemukan. Padahal, seorang jurnalis seharusnya berdiri tegak di atas prinsip kejujuran, keberanian, dan ketidakberpihakan, bukan menjadi alat kepentingan kelompok tertentu.

Sebagai insan pers, sudah seharusnya kita mengembalikan marwah jurnalisme. Kode etik jurnalistik bukan sekadar formalitas, tetapi pedoman moral yang harus dipegang teguh. Jurnalis harus kembali kepada esensi utamanya sebagai pembawa kebenaran, bukan pencari keuntungan pribadi.

Masyarakat membutuhkan jurnalis yang bisa dipercaya, bukan yang menjual idealisme mereka demi keuntungan sesaat. Karena pada akhirnya, sejarah akan mencatat siapa yang benar-benar berjuang untuk kebenaran, dan siapa yang hanya menjadikan jurnalisme sebagai komoditas.

Masyarakat membutuhkan jurnalis yang dapat dipercaya, bukan mereka yang menjadikan profesi ini sebagai alat transaksi. Seorang jurnalis yang kompeten akan selalu mengutamakan integritas, akurasi, dan independensi, bukan sekadar menulis demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, sudah saatnya kita mengembalikan marwah jurnalisme dengan menjunjung tinggi etika, saling menghormati, dan menjaga harga diri profesi ini. Jangan biarkan segelintir jurnalis yang kehilangan idealismenya merusak kepercayaan publik terhadap dunia pers. Sebab, ketika jurnalisme kehilangan nilai-nilainya, maka yang tersisa hanyalah sekadar tulisan tanpa makna dan kejujuran. (*/jb)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Makassar Selengkapnya
Lihat Makassar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun