Mohon tunggu...
Imam Subkhan
Imam Subkhan Mohon Tunggu... Penulis - Author, public speaker, content creator

Aktif di dunia kehumasan atau public relations, pengelola lembaga pelatihan SDM pendidikan, dan aktif menulis di berbagai media, baik cetak maupun online. Sekarang rajin bikin konten-konten video, silakan kunjungi channel YouTube Imam Subkhan. Kreativitas dan inovasi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran yang membawa maslahat umat. Kritik dan saran silakan ke: imamsubkhan77@gmail.com atau whatsapp: 081548399001

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kemubaziran Uji Kompetensi Guru (UKG)

13 November 2015   12:34 Diperbarui: 18 November 2015   15:14 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto: fip.unesa.ac.id"][/caption]

Saat ini, mesin pencari situs di internet didominasi oleh subyek pencarian dengan kata kunci (keyword) Uji Kompetensi Guru (UKG), baik yang mencari informasi tentang pedoman pelaksanaan UKG, kisi-kisi soal UKG, maupun simulasi dan latihan UKG. Tentu saja sebagai netizen atau netter-nya (sebutan untuk pengguna internet) adalah para guru yang saat ini tengah menunggu giliran untuk diuji kompetensinya (9-27 November), terutama pada aspek kompetensi pedagogik dan profesional.

Pelaksanaan UKG kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yang hanya diberlakukan untuk guru-guru yang sudah tersertifikasi. UKG tahun 2015 diperuntukkan semua guru yang terdaftar dalam data pokok pendidikan (Dapodik), baik yang sudah bersertifikasi profesi maupun belum, PNS maupun honorer, pada jenjang PAUD, SD, SMP, SMA dan SMK, yang jumlahnya mencapai angka 2,9 juta guru di seluruh Indonesia.

Walaupun pemerintah menjamin bahwa hasil UKG bukan untuk menentukan kelulusan atau bahan pertimbangan terkait tunjangan profesi guru (TPG), tetapi ketegangan dan kepanikan tetap saja melanda jiwa para guru. Pasalnya, hasil UKG tahun ini bakal dipublikasikan secara luas, bukan hanya perolehan nilai secara keseluruhan, tetapi juga per individu guru akan ditayangkan. Meskipun ada polemik, tentang apakah siswa dan walimurid juga berhak tahu atas hasil UKG para guru di sekolahnya. Karena jika hasilnya rendah, dimungkinkan menimbulkan keresahan sekaligus menurunnya tingkat kepercayaan siswa dan walimurid terhadap gurunya.

Namun demikian, pemerintah memastikan bahwa perolehan hasil UKG pada masing-masing guru menjadi bagian dari penilaian kinerja, selain digunakan sebagai bahan pertimbangan kebijakan dalam pemberian program pembinaan dan pengembangan profesi serta pemberian penghargaan dan apresiasi kepada guru. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, secara eksplisit mengamanatkan adanya pembinaan dan pengembangan profesi guru secara berkelanjutan sebagai aktualisasi dari sebuah profesi pendidik yang dilaksanakan bagi semua guru, baik yang sudah bersertifikat maupun belum bersertifikat.

Jika melihat hasil UKG tahun 2012-2014, memang “kualitas” guru masih jauh dari yang diharapkan, karena nilai rata-ratanya masih di bawah 5,0. Itu saja pesertanya merupakan guru-guru yang sudah bersertifikasi profesi, yang notabene guru-guru senior dan guru-guru yang telah lulus mengikuti program pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG). Maka bisa diprediksikan, hasil UKG tahun 2015 bisa jadi akan lebih buruk, mengingat diikuti oleh semua guru, termasuk guru-guru yunior dan belum memiliki sertifikat pendidik. Jadi, target nilai 5,5 oleh pemerintah barangkali belum bisa tercapai untuk UKG tahun ini.

Lemahnya Konsep

Jika mengacu pedoman pelaksanaan UKG tahun 2015 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kemendikbud RI, ada tiga tujuan yang ingin dicapai, yaitu (1) memperoleh informasi tentang gambaran kompetensi guru, khususnya kompetensi pedagogik dan profesional sesuai dengan standar yang telah ditetapkan;

(2) mendapatkan peta kompetensi guru yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan jenis pendidikan dan pelatihan yang harus diikuti oleh guru dalam program pembinaan dan pengembangan profesi guru dalam bentuk kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB); dan (3) memperoleh hasil UKG yang merupakan bagian dari penilaian kinerja guru dan akan menjadi bahan pertimbangan penyusunan kebijakan dalam memberikan penghargaan dan apresiasi kepada guru.

Menurut penulis, kebijakan pelaksanaan UKG sama halnya dengan pemberlakuan ujian nasional (UN) pada siswa yang sampai detik ini sebagian publik di Indonesia menginginkan untuk dihapus. Tidak jauh berbeda dengan UN, soal-soal UKG pun lebih dominan mengukur pada ranah kognitif atau aspek pengetahuan dengan soal-soal bentuk pilihan ganda. Bisa diprediksi, bagi guru yang rajin berlatih menjawab soal-soal UKG dengan kisi-kisi yang tepat, dijamin hasilnya akan baik, perkara kemampuan mengajarnya di kelas masih diragukan.

Maka pertanyaannya, bisakah hasil UKG ini mencerminkan tingkat kompetensi guru yang sesungguhnya? Dan layakkah, jika hasil UKG ini menjadi acuan untuk pemetaan kompetensi guru yang digunakan sebagai analisis kebutuhan (need assessment) untuk program pendidikan dan pelatihan guru ke depan?

Di samping itu, kelemahan konseptual yang lain dari UKG ini adalah hanya mengukur dua kompetensi guru, yaitu kompetensi pedagogik dan profesional. Barangkali, UKG hanya tepat untuk menguji kompetensi profesional guru yang mengukur tentang tingkat keluasan dan kedalaman guru dalam menguasai materi sesuai bidang studi yang diampunya. Tetapi untuk kompetensi pedagogik yang lebih banyak bersifat keterampilan (skill), sesungguhnya lebih efektif dilakukan observasi langsung pada saat guru mengajar di kelas. Tentu saja yang melakukan penilaian adalah kepala sekolah, guru lain atau teman sejawat, pengawas, bahkan bisa melibatkan orangtua dan siswa itu sendiri.

Lalu bagaimana dengan kompetensi kepribadian dan sosial guru? Jelas ini ini lebih sulit dan kompleks dalam mengukurnya, karena lebih mengarah pada ranah sikap (afektif), dan perilaku (psikomotorik) guru. Pemerintah seolah-olah abai dengan dua kompetensi terakhir ini. Maka tidak heran, jika dalam setiap pelaksanaan program pelatihan dan pengembangan guru yang digagas oleh pemerintah, dua kompetensi ini sama sekali tidak disentuh. Selalu saja pembicaraannya tidak jauh-jauh dari masalah kurikulum dan penerapannya, dan bahkan seringkali hanya berkutat pada hal-hal yang sifatnya administratif, seperti pendataan guru.

Padahal yang sering menjadi keluhan dari masyarakat, terutama orangtua dan siswa adalah mengenai sosok atau figur guru yang belum mencerminkan sebagai pribadi yang patut untuk diteladani. Bahkan sampai detik ini, tindak kekerasan pada siswa yang dilakukan oleh oknum guru masih terus terjadi. Bentuk kekerasan bukan hanya secara fisik, tetapi yang masif dilakukan oleh guru adalah justru kekerasan secara psikis, seperti membentak, menghina atau merendahkan martabat siswa, dan ungkapan-ungkapan guru yang tidak memotivasi dan mengapresiasi anak. Sikap dan perilaku guru inilah yang bisa menjadi penghambat bagi siswa untuk mengoptimalkan seluruh bakat dan potensi yang dimilikinya.

Bukankah menjadi guru adalah panggilan hati nurani untuk mengabdi, bukan semata-mata sebagai profesi untuk mengais rejeki. Ketika seseorang telah rela dipanggil dengan sebutan Pak Guru atau Bu Guru, sesungguhnya dia telah siap menjadi orangtua kedua bagi anak-anak didiknya. Maka, perlakuan dia terhadap muridnya, tentu tak jauh berbeda dengan kasih sayangnya kepada anak kandungnya sendiri. Inilah cerminan guru yang telah menguasai kompetensi kepribadian dan sosial secara sempurna.

Maka, pelaksanaan UKG yang dilakukan secara online dengan anggaran mencapai Rp 261 miliar ini bisa dikatakan mubazir, karena belum bisa menjadi instumen yang valid untuk mengukur kemampuan dan kinerja guru secara komprehensif dan holistik. Selain itu, pelaksanaan UKG berpotensi mengganggu jalannya kegiatan belajar mengajar di sekolah, karena para guru lebih fokus untuk menyiapkan diri dalam mengerjakan soal-soal UKG. Berpijak dari sini, jika ingin lebih obyektif dan efektif, penilaian guru harus melibatkan siswa dan stakeholder yang tahu persis bagaimana sepak terjang guru di dalam kelas.

Oleh karena itu, pelaksanaan uji kompetensi guru secara konseptual dan teknis harus diserahkan kepada pihak sekolah, dimana peran pemerintah melalui dinas pendidikan menyediakan instrumen yang diperlukan untuk pengukuran kompetensi dan kinerja guru di masing-masing sekolah. Selanjutnya, kekurangan atau kelemahan guru dalam penguasaan kompetensi tertentu dari hasil penilaian kinerja yang dijadikan acuan untuk program pendidikan dan pelatihan guru ke depan.  

Imam Subkhan

Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Pendidikan UNS, aktif di lembaga Diklat Guru Fataha ETC Solo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun