Mohon tunggu...
Imam Rahmanto
Imam Rahmanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Coffee addict

Cappuccino-addict | Es Tontong-addict | Writing-addict | Freelance

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mencari "Menara" di Tanah Ranaloe

29 Mei 2015   20:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:28 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_421314" align="aligncenter" width="595" caption="Selamat datang di desa kami, Kaks! (Foto: pak Ilyas)"][/caption] Saya selalu memimpikan menyela rutinitas kerja dengan berkunjung ke tempat-tempat yang baru. Hiruk-pikuk perkotaan kerap membuat saya jenuh. Sesekali, saya ingin berkunjung ke daerah asri yang belum tercemar hutan beton. Atau telentang di atas permadani rumput sembari menatap bintang tanpa diganggu polusi kota. “Sekali waktu, berkunjunglah ke Desa Ranaloe untuk melihat PAUD Komunitas Menara,” ajak seorang "teman baru" lewat BBM-nya. Saya lama mengenalnya lewat karya-karya novel fenomenalnya. Hanya saja baru berkesempatan mengenalnya lebih dekat dua minggu yang lalu. [caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="Saya lupa namanya.. :( (Foto: ImamR)"]

Saya lupa namanya.. :(
Saya lupa namanya.. :(
[/caption] Saya menjanjikan bakal mengunjungi PAUD yang sebenarnya belum pernah pula dikunjunginya itu. Sekolah untuk anak usia dini itu, baru dibangunnya setahun silam atas usulan relawan di sana. Dari ceritanya, saya cukup membayangkan sebuah desa yang tidak jauh berbeda dengan domisili saya di Enrekang dulu. Pegunungan. Lembah. Pohon-pohon. Jalanan menanjak. Bukit terjal. Udara yang asri. Penduduk yang ramah. Saya, dan seorang teman dari Harian Nasional, Kak Debbie, tertarik berkunjung ke sana. Apalagi dengan kesediaan salah seorang relawan, Pak Ilyas, mengantar kami hingga ke tanah Ranaloe. Sebenarnya saya juga mengajak beberapa orang teman untuk ikut serta. Hanya saja, mereka punya aktivitas masing-masing di akhir pekan itu. Pun, saya bisa “melenggang” ke luar Kota Makassar lantaran mendapat izin peliputan PAUD ke redaktur beberapa hari sebelumnya. Yah, sambil menyelam minum air…. Pagi benar saya harus bersiap. Kami berencana berangkat bersama pada pukul 7 tepat, sesuai permintaan Pak Ilyas. Akan tetapi, kebiasaan begadang semenjak mahasiswa, dan aktiivitas di sekretariat (redaksi) LPM Profesi malam itu, membuat saya nyaris bangun kesiangan. Saya baru terbangun lewat setengah tujuh. #gubrakk! Perjalanan kami dimulai dari puskesmas Kalegoa yang tak jauh dari kediaman Pak Ilyas. Jalan poros yang dilalui Pak Ilyas masih terasa asing bagi saya. Bukan jalan poros yang berujung ke Malino, seperti yang selama ini saya lalui. Melainkan jalan poros yang…. entahlah. Saya nampaknya belum pernah melaluinya. Menurut Pak Ilyas, jalan poros tersebut melintasi perbatasan Gowa-Takalar. Akan tetapi, area Kabupaten Takalar yang akan kami lalui tidak cukup luas. Berselang beberapa menit, kami sudah memasuki kembali area Kabupaten Gowa. “Area Gowa memang cukup luas. Perbatasannya banyak menyentuh beberapa kabupaten di Sulsel. Ada Takalar, Sinjai…,” tutur Pak Ilyas di belakang kemudi. Sepanjang perjalanan, Pak Ilyas memang banyak bercerita. Di sepanjang jalan, saya menemui perumahan yang masih identik dengan pemandangan alam. Saya menikmatinya. Apalagi ketika kami ditraktir untuk mencicipi Coto Kuda. Mata saya selama ini sudah terlalu dibiasakan melihat gedung-gedung tinggi perkotaan. Melihat pohon-pohon hijau rasanya seperti menyemai perasaan. Damai. Di kiri-kanan jalan terbentang lahan persawahan yang cukup luas yang memanjakan mata. Lantaran berangkat pagi, udara panas masih belum terasa. “Nah, kita akan belok kanan. Kalau terus, maka jalanannya bakal berujung buntu,” jelas Pak Ilyas lagi. Saya tak habis pikir, jalanan beraspal yang kami lalui ini bakal berujung pada jalanan buntu. “Soalnya jalanan selanjutnya itu tidak diaspal, dan sulit dilalui kendaraan mobil,” lanjutnya, seperti bisa membaca pikiran kami. Ia menambahi, perjalanan kami seterusnya akan dilalui dengan tanjakan. Dari pertigaan jalan poros, kami tiba kurang dari 1 jam di Desa Ranaloe. Melintasi jurang dan dinding perbukitan. Jalan poros yang mengantar kami memang bisa dilalui mobil. Hanya saja, di beberapa titik, batu-batu mencuat dari aspal yang rusak. Termasuk di banyak tikungan yang nyaris memutar sudut 180 derajat. Pun, jalanannya hanya cukup untuk satu mobil. “Makanya saya tidak berani membawa mobil yang putaran mesinnya di ban depan. Saya pasti pakai mobil yang dorongannya dari belakang, 4WD,” ujarnya di tengah perjalanan. Saya tak mengerti banyak hal tentang mobil. Dalam bayangan saya, seperti mobil mainan tamiya, yang terbagi dalam dua pelatakan mesin dinamo. Dinamo depan dan dinamo belakang. Mm... mungkin seperti itu. Berkali-kali ia mengambil ancang-ancang memasuki tikungan yang cukup curam. Ban belakang mobil tak henti bising terselip. Burnout. Menyisakan bunyi yang agak memekakkan telinga. Salah sedikit, mobil yang kami tumpangi bisa mundur dan terperosok ke jurang. Entah ada berapa tikungan yang harus kami taklukkan hingga mencapai Desa Ranaloe. Satu-dua orang yang berpapasan dengan kami menandakan bahwa kami sudah menuju pemukiman yang tepat. “Itu Desa Ranaloe,” tunjuk Pak Ilyas di tengah-tengah perjalanan kami menaklukkan tanjakan. Ia menunjuk pegunungan yang ada di sebelah kiri kami. “Itu yang ada rumah warna putihnya,” tunjuknya lagi menembus lokasi persawahan yang berada di sisi kanan perjalanan. [caption id="" align="aligncenter" width="477" caption="Nah, Desa Rannaloe ada di gunung itu. Ngambil gambarnya dari atas mobil yang sedang bermanuver.n (Foto: ImamR)"]
d
d
[/caption] Akh, saya semakin merindukan menghabiskan waktu di daerah pegunungan begini. Sawahnya. Sungainya. Pohonnya. Teman-teman masa kecil. Eh, iya, apa kabar sekarang ya? Bagi saya yang terbiasa tinggal di daerah pegunungan, lokasi Desa Ranaloe tidak cukup jauh. Di pedalaman Enrekang, ada lebih banyak daerah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa. Jika menggunakan motor ke Ranaloe, sebenarnya tidak akan sesulit menggunakan mobil. Jalan menuju Desa Ranaloe bisa dipilin aspal atas iming-iming para caleg yang berkampanye. Jembatan yang menghubungkan Ranaloe dengan “kehidupan” di luar juga dibangun sebagai upaya untuk meningkatkan perekonomian desa. “Bayangkan, dulu orang-orang kalau mau jual hasil panennya harus jalan keluar berjam-jam. Sampai-sampai, gula merahnya biasa meleleh di tengah perjalanan,” ujar Pak Ilyas. Salah satu komoditi yang biasa dimanfaatkan penduduk desa ini juga adalah Gula Merah yang diolah dari pohon aren. Kapan-kapan saya ingin melihat proses pengolahan gula merahnya. Desa Ranaloe tidak bisa terjangkau oleh sinyal handphone. Untuk listrik sendiri, baru disambungkan sekira dua-tiga tahun yang lalu. Pak Ilyas, sebagai relawan, biasanya berkomunikasi dengan menggunakan handy-talkie (HT). HT itu dipegang oleh Kepala Posyandu, Bu Desa, dan Kepala Posyandu. Biasanya, HT dimanfaatkan ketika ada keperluan kesehatan di desa-desa tetangga, seperti ibu melahirkan. Atas alasan mobilitas pula, Kepala Posyandu di Desa Ranaloe adalah seorang laki-laki. Jikalau ada ibu-ibu melahirkan, maka Kepala Posyandu yang bernama Khaeruddin Syam itu akan mengantarkan satu-satunya bidan desa menembus belantara. Yah, benar-benar belantara, ketika jalan beraspal tak lagi menyambung jalan transportasi. “Kalau ada yang melahirkan, kami harus ke sana. Bagaimana pun medannya, harus ditanggulangi,” ujar Khaeruddin. Ia masih muda. Lulusan Pendidikan Agama Islam, namun kembali mengabdikan diri di desa yang telah melahirkannya. Kami bercakap di sebuah Posyandu sederhana yang dibangun atas bantuan sebuah institusi swasta atas prakarsa Pak Ilyas. Kalau penasaran dengan Pak Ilyas, saya menemukan tautannya di sini. Kebetulan, hari itu masyarakat sedang memenuhi jadwal penimbangan berat badan dan pemeriksaan kesehatan anak-anaknya. Posyandu itu juga merangkap sebagai perpustakaan desa, meskipun dengan buku-buku yang masih minim. Saya menghitung, tidak sampai seratus buku yang tersusun di rak yang menempel di dinding seadanya. Meski terpencil, Desa Ranaloe termasuk salah satu desa di Kecamatan Bungaya yang paling maju di bidang pendidikan. Desa ini memiliki sekolah madrasah, meskipun masih belum selengkap sekolah-sekolah di kota. Katanya, banyak anak-anak penduduk desa tetangga yang bersekolah di Desa Ranaloe. Satu yang cukup spesial, salah satu sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di atas gunung itu, terselip nama seorang penulis novel best seller. Bagi orang-orang yang sudah pernahh membaca novelnya, tentu tak perlu berpikir panjang ketika mendengar nama PAUD yang menyertakan label "Komunitas Menara". Yah, siapa lagi kalau bukan Ahmad Fuadi. PAUD Komunitas Menara Kami tiba di Ranaloe. Di depan kami, terpampang pagar warna-warni yang identik dengan anak kecil. Di atas anak tangga juga tertegun seorang anak kecil yang begitu polosnya memandang kedatangan kami. Melihat Pak Ilyas yang mengantarkan kami, anak-anak tersebut berlarian kecil menjejaki anak tangga, kembali ke dalam ruangan yang serupa kelas di atas sana. Itu memang sebuah ruangan kelas. Dari luar, saya bisa memandangi anak-anak sedang belajar dan bermain. Seorang perempuan paruh baya mengajarkan membuat bendera merah putih, sembari sesekali bernyanyi. "Kasih ibu...kepada beta...tak terhingga sepanjang masa...." Lagu itu membuat mata saya terkena-sengatan-aroma-bawang-merah. Tiba-tiba saja saya teringat masa kecil. Bagaimana melihat mereka bernyanyi bersama, mengingatkan saya kembali usia masa kanak-kanak. Usia dewasa memang tak ubahnya memaksa kita merindukan usia kanak-kanak. Di usia itu, kita takkan pernah pusing memikirkan sesuatu. Bermain, ya bermain saja. berlari, ya berlari saja. Amat berbeda ketika dewasa, yang harus diselingi dengan sebab dan akibat. [caption id="" align="aligncenter" width="596" caption="Ruang kelas yang unik. (Foto: ImamR)"]
Ruang kelas yang unik. (Foto: ImamR)
Ruang kelas yang unik. (Foto: ImamR)
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="596" caption="Merdeka! (Foto: ImamR)"]
[/caption] Saya sangat suka dengan anak kecil. Tak heran ketika diperlihatkan gambar tentang sekolah PAUD ini, saya begitu tertarik mengunjunginya. Di pedalaman asli begini, memandangi wajah anak kecil yang ceria, tertawa, mungkin bisa membagi sedikit kebahagiaan mereka tentang hidup. Bahwa: hidup sesederhana ini adanya… Sekolah untuk anak usia dini ini sebenarnya sudah lama didirikan oleh Bu Masruhah, seorang alumni perguruan tinggi pendidikan agama Islam. Hanya saja, sejak memulainya di tahun 2004, ia belum memiliki gedung permanen sebagai tempat belajarnya. Ia hanya memanfaatkan gubuk-gubuk penduduk dan teras rumahnya sebagai tempat belajar anak-anak usia dini itu. Sembari menyesap air nira yang disuguhkan khusus siang itu di rumahnya, Bu Masruhah banyak bercerita tentang Ranaloe dan PAUD Komunitas Menara kepada kami. Selama ini saya hanya mendengar air nira dari televisi. Namun, siang itu, saya berkesempatan meneguk rasa manisnya, meskipun baunya agak kecut. Kalau difermentasi, air nira inilah yang kemudian disebut dengan ballo'. Bagaimana ia mulai membangun PAUD, atas kekecewaannya melihat anak-anak usia balita di Ranaloe yang dipaksa orang tuanya masuk SD. Akibatnya, pemikiran mereka dipaksa untuk menyerap pelajaran anak usia SD yang seharusnya belum bisa mereka cerna dengan baik. “Bayangkan, anak usia 3 tahun sudah dipaksa masuk SD hanya gara-gara teman-temannya juga masuk SD.” Ia akhirnya mendirikan PAUD “berjalan” itu. Sambil tetap mengajak ibu-ibu di desa memasukkan anaknya ke sekolah yang dikelolanya secara gratis. Guru-guru yang mengajar pun direkrutnya dari ibu-ibu PKK. Belakangan, mereka yang mengajar di sana berguguran lantaran tidak sanggup dengan gaya bekerja “gratisan” alias tanpa digaji. Tersisa satu orang saja yang masih loyal dengan Bu Masruhah hingga sekarang. Bersamaan dengan inisiatifnya membangun PAUD “berjalan” itu, ia juga memanfaatkan lahan dari suaminya yang merupakan Kepala Desa untuk membangun sekolah Aliyah. Kini, ia menjabat sebagai Kepala Sekolah di Madrasah Aliyah itu. Salah satu guru yang mengajar di sana adalah Khaeruddin, yang juga menjabat sebagai Kepala Posyandu di Desa Ranaloe. “Dulu, di lahan itu, tempatnya orang-orang persembahan sesajen. Orang-orang di sini dulunya memang masih punya kepercayaan seperti itu,” Bu Masruhah menceritakan sesaat kami menyambangi rumahnya yang berada di bawah lokasi PAUD Komunitas Menara. [caption id="" align="aligncenter" width="595" caption="Selamat datang, Kakak! (Foto: Pak Ilyas)"]
Selamat datang, Kakak! (Foto: ImamR)
Selamat datang, Kakak! (Foto: ImamR)
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="595" caption="Mari bermain bersama kami. Ajarkan kami yang namanya cita-cita dan impian! (Foto: Pak Ilyas)"]
dd
dd
[/caption] Tak jauh beda, sebenarnya salah satu rekomendasi lokasi pembangunan gedung permanen yang kemudian diusulkan ke Komunitas Menara dulunya adalah tempat persembahan semacam itu. Hanya saja, orang “pintar” yang memeriksa tempat itu kemudian melarang dan menganjurkan mencari tempat lain yang lebih cocok dibangunkan kelas PAUD. Katanya, tak cocok buat tempat belajar anak kecil. Ah, ya tunggu dulu, saya belum menceritakan bagaimana tiba-tiba seorang penulis novel Best Seller, Ahmad Fuadi bisa menyelipkan namanya di desa yang jauh dari hiruk-pikuk Ibu Kota. Oke, begini asal-muasalnya. Mulanya, Pak Ilyas sebagai relawan sebuah institusi sudah lama mengenal lokasi di Desa Ranaloe. Ia bahkan mengaku sudah menjadikan desa itu sebagai bagian dari hidupnya. “Ayah saya dulunya seorang tentara dan sering mengajak saya ke desa ini,” kisah Pak Ilyas. Kondisi Ranaloe dulu di masa kecil Pak Ilyas juga sangat jauh dari hegemoni kemajuan. Hingga dewasa dan selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan kemanusiaan, Pak Ilyas tak lupa menyelipkan desa ini di kepalanya. Wajarlah ketika ia bertemu dengan relawan lain di Jakarta, yang sedang mencari sekolah PAUD untuk dibantu, di kepalanya segera mencuat Desa Ranaloe. “Saat itu, syarat dari teman relawan itu bahwa PAUD yang akan dibantu itu bukan baru akan dibuat. Tapi sudah berjalan selama beberapa tahun.” Syarat yang diajukan tidak jauh berbeda dengan kondisi PAUD yang dipelopori oleh Bu Masruhah, kenalannya di Ranaloe. Saat itu juga, ia mengusulkan sekaligus memperkenalkan desa itu kepada teman relawan yang berasal dari Komunitas Menara, asuhan Bang Ahmad Fuadi. Tibalah pembangunan yang tak pernah diduga Bu Masruhah pada sekolah yang telah lama dirintisnya. Ia tak pernah menyangka, PAUD “berjalan”nya bisa mendapatkan bangunan permanen. Bahkan, pembangunan yang hanya berjalan sebulan itu disambut baik oleh warga sekitar. Mereka berbondong-bondong menyelesaikan pembangunan sekolah yang berkomposisi setengah beton itu. “Bagi saya, bagaimanapun modelnya, paling tidak anak-anak sudah punya tempat belajar. Mereka sudah bisa mendapatkan pendidikan yang layak,” syukur Bu Masruhah. Hingga kini, ada 25 anak didik di PAUD gratis itu. Mendengar itu, saya jadi tersentuh… Dan lagi, 3 orang guru yang kini mengabdi di situ disekolahkan PG-TK di salah satu sekolah tinggi di Manggarupi. Pak Ilyas biasa menyebutnya, PAUD Di Atas Awan, lantaran ketika petang tiba, lokasi desa diselimuti kabut. Jika berkesempatan naik gunung, maka kita akan mendapati awan melintasi desa ini. Di desa, ada perbukitan yang cukup menarik jika didaki, kata Bu Masruhah. Apalagi buat orang-orang yang menyukai senja. Saya dibuai penasaran. Untuk yang satu ini, saya berkeinginan mencobanya suatu waktu. Dan lagi, katanya, di atas desa ada lokasi wisata air terjun dan gua yang baru ditemukan dan belum banyak terjamah publisitas. “Ndak usah terlalu banyak dikasih tahu semuanya, Bu. Supaya mereka datang lagi ke sini cari informasi,” canda Pak Ilyas masuk akal. Makanya bikin saya penasaran. “Kapan-kapan, berkunjunglah lagi ke sini, dek” ajak Bu Masruhah ramah. Tentu saja, mungkin rasa penasaran itu bisa jadi bahan saya berikutnya. ^_^. [caption id="" align="aligncenter" width="595" caption="Salam dari kami, Kak Ahmad Fuadi! (Foto: Pak Ilyas)"]
Salam dari kami, Kak Ahmad Fuadi! (Foto: Pak Ilyas)
Salam dari kami, Kak Ahmad Fuadi! (Foto: Pak Ilyas)
[/caption]

--Imam Rahmanto--

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun