Sudah lama memendam diri untuk tidak berkomentar ataupun menulis tentang apa yang terjadi di Universitas Indonesai belakangan ini. Sebagai almuni kampus "Perjuangan Orde Baru" yang membanggakan dengan jaket kuningnya, mulai merasa terganggu juga.
Di luaran, alumni UI terkenal kuat memiliki kemampuan untuk membuat komunikasi perusahaan ataupun pemerintahan yang baik, dan bahkan mampu menangani dengan baik komunikasi yang terjadi di saat krisis.
Setelah protes masyarakat meluas, baik dilakukan oleh kalangan civitas akademika Universitas Indonesia (UI) maupun publik umum lainnya terkait kasus "Doktor Bahlil", UI akhirnya buka suara. Menggelar konferensi pers, dan mengeluarkan siaran pers untuk menanggapi polemik dugaan pelanggaran akademik dan etik di Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG).Â
Dalam pernyataan resminya, UI menegaskan bahwa keputusan yang diambil bukan keputusan sepihak, melainkan hasil musyawarah Empat Organ utama UI, yaitu Rektor, Majelis Wali Amanat (MWA), Senat Akademik (SA) dan Dewan Guru Besar (DGB).
Press release ini cukup jelas dalam menegaskan posisi UI. Kalau dicermati lagi kok, sepertinya UI kedodoran. Perhatikan saja gaya komunikasi publik dan strategi yang dipakai, ada banyak hal yang mengganggu. Kesan defensif jelas kentara. Sulit dikatakan kalau ini merupakan sebuah ketidaksengajaan, mengingat UI mempunyai banyak pakar komunikasi. Jadi yang kemungkinan terjadi, UI "tunduk" pada atau punya misi yang justru membuat lembaga prestisius itu jadi kelas jalanan.
Perhatikan saja, kekurangan utama dengan diksi yang dipakai. Kata-kata negatif seperti "TIDAK TEPAT", "TIDAK RELEVAN", dan "BELUM" bertaburan. Dalam komunikasi krisis, pendekatan seperti ini membuat institusi terlihat defensif. Mereka seperti anak-anak yang ketahuan bohong, kemudian mengatakan "bukan saya" pelakunya, kami sudah berbuat terbaik kok dan sejenisnya. Jelas terlihat seperti orang panik.Â
Padahal, dalam berkomunikasi bisa dilakukan lebih elegan dan tenang, tentunya dengan diksi yang lebih diplomatis dan netral, sambil menjaga kredibilitas agar tidak terlihat seperti orang panik dan sedang menangkis balasan.
Disisi lain, bagi kalangan komunikasi, ini menjadi kasus yang menarik. Bagaimana lembaga sekelas UI bisa terjerumus pada gaya komunikasi yang harusnya tidak dilakukan UI. Dari segi politik, memang jauh lebih mudah ditebak arah anginnya. Sekali lagi, tim komunikasi yang terkesan kedodoran itu, bisa jadi sebagai tanda mulai tumpulnya kemampuan akademik oleh tekanan kekuasaan di lembaga pendidikan yang terhormat.
Sebagai bagian dari alumni, tentu harus mengelus dada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI