Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi pendidikan inklusif, penyintas disleksia-ADHD. Pendiri Homeschooling Rumah Pipit

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Disleksia : Kode yang Terdegradasi, Bukan kecerdasan yang Hilang

7 September 2025   12:57 Diperbarui: 7 September 2025   12:57 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disleksia: Kode yang Terdegradasi, Bukan Kecerdasan yang Hilang

Disleksia bukanlah soal malas, bodoh, atau kurang berusaha. Ia adalah soal "kode" yang terdistorsi sejak awal. Jika akar masalahnya berada pada input, mengapa kita terus mencari solusinya di ujung?

Saya pertama kali didiagnosis disleksia dan ADHD pada usia 9 tahun. Sebelum itu, sekolah adalah medan penuh stigma. Guru melihat saya sebagai anak yang "lamban," teman-teman menjuluki saya "bodoh," bahkan ayah saya sempat curiga ada kerusakan pada mata saya. Padahal saya bisa mendengar dengan baik, melihat dengan jelas, dan memahami dunia dengan rasa ingin tahu besar.

Namun, ada satu hal yang tak pernah stabil: kode bunyi di dalam kepala saya. Kata-kata yang saya dengar utuh, tapi saat diubah menjadi simbol huruf dan ejaan kode itu sudah "rusak." Saya sering mengeja kata sesuai salah ucap di kepala, meski mendengarnya benar. Di situlah letak akar dari disleksia: kode input yang terdegradasi.

Para ahli menyebutnya sebagai fuzzy phonological representation peta bunyi mental yang kabur atau tidak stabil (Snowling, 2000). Menurut penelitian Shaywitz (2003), disleksia memengaruhi 10--15% populasi dunia, dan lebih dari 40% anak disleksia memiliki kesulitan lain seperti ADHD.

Di Indonesia, data spesifik masih minim. Namun laporan UNESCO (2019) memperkirakan ada lebih dari 12 juta anak dengan kebutuhan belajar khusus, termasuk disleksia, yang sering tak terdeteksi karena stigma dan kurangnya pemahaman guru.

Artinya, ribuan anak mungkin sedang mengalami apa yang saya alami dulu: membawa kode yang rapuh, lalu disalahartikan sebagai malas atau bodoh.

Bayangkan sebuah rantai domino. Jika yang pertama goyah, semuanya akan jatuh. Begitulah disleksia bekerja:

  1. Mengeja salah karena kata di kepala sudah salah ucap.
  2. Membaca lambat karena setiap kata terasa seperti teka-teki baru, tak pernah otomatis.
  3. Kehilangan pemahaman energi habis untuk decoding, hingga tak ada ruang di memori kerja untuk makna.
  4. Luka emosional stigma, ejekan, dan rasa gagal menumpuk, membuat identitas diri runtuh.

Bagi saya, membaca teks akademis terasa seperti mendaki tebing licin. Tetapi teks yang terstruktur jelas, atau tulisan yang menyentuh emosi, justru menolong saya memahami. Empati dan struktur menjadi jangkar, bukan sekadar latihan fonik berulang.

Sebagian besar intervensi hanya menyasar gejala di hilir: kefasihan, pemahaman, kompensasi. Padahal akar masalah ada di hulu kode input.

  • Untuk orangtua: Kesulitan mengingat rima, mengucapkan kata baru, atau menghubungkan bunyi-huruf pada usia dini bukan hal sepele. Itu bisa tanda awal disleksia. Jangan menunggu "nanti juga bisa sendiri."
  • Untuk guru: Phonics penting, tetapi tanpa konteks makna hanya akan memperkuat kode yang kabur. Gunakan pendekatan multisensori: lihat, dengar, ucapkan, gerakkan, dan hubungkan dengan cerita.
  • Untuk anak disleksia: Konteks adalah penolong. Jangan lawan kabut itu sendirian, gunakan makna, emosi, dan cerita sebagai penstabil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun