Melihat Lima Gejala ADHD Ini sebagai Kekuatan
Apa yang Terjadi Saat Saya Berdamai dengan Otak Saya
Di usia sembilan tahun, saya duduk di ruang praktik seorang psikolog anak, ditemani ayah yang berusaha tegar. Hari itu, saya resmi didiagnosis dengan disleksia dan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Usia segitu, saya tidak benar-benar mengerti arti diagnosis itu. Yang saya tahu, saya berbeda.
Berbeda di kelas. Berbeda di rumah. Berbeda di mata orang lain.
Di sekolah, saya sulit membaca cepat. Angka-angka di buku matematika terasa seperti berlari ke segala arah. Guru sering mengira saya malas, teman-teman menganggap saya aneh. Saya seperti hidup di dua dunia: dunia yang penuh ide dan imajinasi di kepala saya, dan dunia "realitas" yang selalu menuntut saya untuk patuh pada aturan yang tak pernah cocok dengan cara kerja otak saya.
Perjalanan menerima kondisi ini bukan proses singkat. Ada rasa marah, malu, bahkan penolakan. Tapi seiring waktu, saya mulai belajar apa yang dikatakan psikolog Edward M. Hallowell dalam bukunya Driven to Distraction:
"ADHD bukan hanya gangguan. Ia bisa menjadi kekuatan luar biasa jika diarahkan dengan benar."
Kalimat itu mengubah cara pandang saya. Saya mulai berhenti melihat ADHD sebagai musuh, dan mulai menganggapnya sahabat. Saya mulai "bernegosiasi" dengan otak saya, bukan memaksanya untuk menjadi seperti otak orang lain.
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2023, sekitar 5--7% anak di dunia mengalami ADHD, dan 60% tetap membawa gejalanya hingga dewasa. Itu berarti ada jutaan orang yang mengalami hal yang sama, tapi belum tentu semuanya punya kesempatan untuk melihat sisi positifnya.
Saya ingin menjadi salah satu dari sedikit orang yang bisa menceritakan bahwa berdamai dengan ADHD bisa mengubah hidup.
