Murid Tiri Negara: Duduk di Kelas, Tapi Tak Pernah Dikenali
Setiap pagi anak itu datang lebih awal. Ia memakai seragam rapi, membawa tas penuh buku, dan duduk diam di pojok kelas. Ia bukan anak yang melawan, bukan pula pengganggu. Tapi di ruang belajar itu, ia tak pernah dipanggil untuk membaca, tak pernah diminta menjawab soal, dan tak pernah diberi kesempatan menunjukkan caranya memahami dunia. Ia hadir, tetapi tak pernah benar-benar dikenali. Ia adalah satu dari ribuan murid tiri negara, anak-anak yang berbeda cara berpikir dan belajar, tetapi terjebak dalam sistem pendidikan yang hanya mengenali satu jalur: cepat, seragam, dan penuh angka. Di mata sistem, mereka dianggap gangguan. Di mata guru yang kelelahan, mereka jadi beban. Di ruang kelas yang dipenuhi target dan tuntutan, mereka perlahan disingkirkan secara halus.
Sebagai guru anak berkebutuhan khusus lebih dari 15 tahun dan juga penyandang disleksia dan ADHD, saya mengenal luka itu dari dalam. Saya tidak hanya menyaksikan sistem gagal memahami mereka saya pernah mengalaminya sendiri. Otak saya tidak dirancang untuk metode belajar yang konvensional. Tapi saya bisa belajar, jika diberi ruang dan pengertian. Sejak 2017, saya menjalankan program Disleksia Keliling Nusantara, mengunjungi ratusan sekolah dan komunitas dari kota besar hingga pelosok desa. Di tiap tempat, saya menemukan kisah serupa : anak-anak yang ditolak karena berbeda, guru yang menangis karena merasa tak sanggup, dan orang tua yang berjalan sendiri karena negara tak hadir di sisi mereka.
Seorang ibu di Kalimantan bercerita bagaimana anaknya “dikeluarkan secara halus” dari sekolah negeri karena belum bisa membaca saat duduk di kelas 3. Seorang guru muda di NTT menyesal setelah tahu murid yang sering ia marahi karena lambat menyalin ternyata mengalami disleksia. Semua ini adalah suara lirih yang terlalu lama diabaikan.
Data menunjukkan kondisi yang mencemaskan. Lebih dari 70% sekolah di Indonesia belum memiliki pemahaman dan strategi dalam menangani anak dengan kesulitan belajar spesifik seperti disleksia, ADHD, atau diskalkulia (Survei Pendidikan Inklusi, 2022). Sekitar 40% anak berkebutuhan khusus di sekolah umum akhirnya dikeluarkan, dipindahkan, atau disarankan homeschooling karena dianggap mengganggu proses belajar siswa lain (Yayasan Peduli ABK, 2023). Ironisnya, semua ini terjadi ketika konstitusi dan kurikulum sudah menjamin pendidikan inklusif. Tapi kenyataan di ruang kelas berkata lain. Anak-anak masih diukur dengan satu alat, satu waktu, dan satu cara. Mereka yang tak memenuhi standar dianggap gagal. Dianggap beban. Dianggap tidak layak untuk tetap belajar bersama.
Sistem yang Tak Siap Mengerti
Sistem pendidikan kita masih kaku dan linier. Semua anak diharapkan belajar dengan metode dan kecepatan yang sama. Padahal Jean Piaget telah menekankan bahwa anak berkembang sesuai tahap uniknya. Howard Gardner dengan teorinya tentang Multiple Intelligences menyatakan bahwa kecerdasan manusia itu beragam: logika, bahasa, gerak, sosial, seni, hingga refleksi diri.
Namun sayangnya, sistem kita hanya memberi ruang pada dua hal: nilai matematika dan bahasa. Di luar itu, dianggap penyimpangan. Anak dengan disleksia atau ADHD dianggap bermasalah, meski sebenarnya mereka hanya berbeda cara memproses informasi.
Akibatnya:
- Anak-anak tumbuh dengan rasa rendah diri, merasa tidak cukup, dan mengalami stres akademik.
- Guru merasa frustrasi karena tidak mampu “mengakomodasi” di tengah tekanan capaian kurikulum.
- Orang tua harus berjuang sendiri tanpa bimbingan sistem.
- Dan masyarakat kehilangan potensi luar biasa dari anak-anak yang tak sempat diberi kesempatan.
Jeritan yang Tak Terdengar