"Produktif dengan Cara yang Berbeda Disleksia-ADHD"
Saya ingin mulai dengan satu pertanyaan sederhana apakah produktivitas itu harus terlihat rapi, sistematis, dan linier? Kalau iya, maka saya adalah definisi dari kegagalan. Tapi kalau produktivitas adalah tentang menyelesaikan sesuatu dengan cara kita sendiri, maka saya di sini adalah buktinya.
Sebagai penyandang disleksia dan ADHD, hidup saya adalah kombinasi antara huruf-huruf yang menari dan pikiran yang tidak pernah diam. Di sekolah, saya sering dianggap tidak fokus, pemalas, atau bahkan "aneh." Bukan karena saya tidak mau belajar, tapi karena sistemnya tidak bisa memahami cara otak saya bekerja. Jadwal yang kaku, metode belajar yang satu arah, serta tuntutan akademis yang seragam membuat saya nyaris menyerah. Namun, saya menemukan titik balik ketika saya menyadari bahwa saya tidak harus mengikuti cara orang lain untuk menjadi produktif saya hanya perlu menemukan cara saya sendiri.
Teknik-teknik produktivitas yang umum seperti to-do list, time blocking, atau metode Pomodoro sering kali tidak relevan bagi orang seperti saya. Tapi bukan berarti saya tidak bisa produktif. Saya mulai menciptakan sistem versi saya sendiri: bekerja dalam ledakan energi kreatif, menggunakan visual dan warna untuk menyusun ide, dan memberi ruang untuk "kacau" tanpa rasa bersalah. Neurodivergent productivity adalah hal yang nyata. Penelitian dari Thomas E. Brown, seorang pakar ADHD dari Yale University, menyebutkan bahwa otak dengan ADHD bukanlah otak yang malas, melainkan otak yang membutuhkan motivasi yang bermakna dan sistem yang fleksibel. Sementara itu, Shaywitz (2003) dalam penelitiannya tentang disleksia menjelaskan bahwa individu dengan disleksia memiliki keunggulan dalam berpikir spasial dan pemecahan masalah kreatif, meski kesulitan dalam membaca. Jadi, kami bukan kurang, hanya berbeda.
Di dunia yang terlalu sibuk memberi label "produktif" hanya kepada mereka yang bisa mencentang daftar tugas secara sempurna, kami para pemilik otak yang bekerja dengan cara unik sering tersisih. Tapi hari ini saya ingin berkata: berhentilah mencoba menjadi versi standar dari kesuksesan. Kita tidak harus duduk manis selama delapan jam, tidak harus menyusun catatan dengan rapi, tidak harus menyelesaikan satu tugas dalam satu waktu. Kita bisa berdansa dengan pikiran kita, berpindah-pindah ide, mengerjakan sesuatu sambil bersenandung atau berjalan bolak-balik di ruangan. Itu tetap produktivitas versi kita.
Saya belajar bahwa menerima cara kerja otak saya bukan berarti menyerah, melainkan berdamai dan membangun kekuatan dari kekacauan yang ada. Ketika saya berhenti mencoba "menyembuhkan" disleksia dan ADHD saya, saya justru mulai tumbuh. Hari ini, saya berkarya bukan karena saya berhasil menaklukkan disleksia-ADHD, tapi karena saya hidup berdampingan dengannya dalam tulisanku, dalam pelatihan yang saya berikan, dalam setiap tawa dan air mata anak-anak yang saya dampingi. Dunia butuh lebih banyak ruang untuk orang-orang yang berpikir dengan cara yang berbeda. Dan mungkin, justru dari ketidakteraturan itulah, lahir ide-ide yang paling jujur dan berdampak.
"Produktivitas bukan soal terlihat sibuk. Tapi tentang menciptakan makna dengan caramu sendiri, meski dunia tak mengerti." -- Imam Setiawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI