Mohon tunggu...
Imam Basori
Imam Basori Mohon Tunggu... Ilmuwan - Dosen

Associate Professor

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Marhaban Ya Ramadhan

14 Maret 2024   11:48 Diperbarui: 20 Maret 2024   09:48 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bulan suci ini juga mengajarkan kita simpati pada orang miskin, ketika rasa lapar dan dahaga menyerang orang yang sedang menjalankan puasa maka saat itu dia bisa merasakan dan berbagi pengalaman yang dirasakan oleh berjuta ummat muslim yang kelaparan,yang dari sini bisa memotivasi seseorang untuk memberikan sumbangsih bagi kesejahteraan masyarakat. 

Setelah kita berbicara tentang beberapa hikmah yang dapat diambil dari puasa, maka selanjutnya kita mamasuki pada derajat puasa itu sendiri, setingkat apa puasa yang selama ini telah kita jalankan. 

Apakah hanya sebatas menahan lapar dan dahaga tanpa dibarengi dengan amalan-amalan yang terpuji ataukah kita telah dapat memaknainya dengan arti sesungguhnya, yaitu dengan merefleksikan pada amalan-amalan keseharian kita ?

Puasa ada tingkatan tertentu, dan tingkatan tersebut hanya diri kita sendirilah yang bisa mengukurnya. Tingkatan tersebut antara lain puasa umum, puasa khusus, dan puasa khusus yang dikhususkan. Puasa umum disini adalah puasa dhohiriah, sebagaimana yang telah kita jalankan yaitu dengan menahan lapar,dahaga, juga menahan diri dari mengikuti hawa nafsu. 

Puasa khusus adalah menahan pendengaran, pendangan, lisan, tangan, kaki dan seluruh anggota badan kita untuk tidak mengerjakan kemaksiatan. 

Misalnya menahan telinga kita untuk tidak mendengarkan kebohongan, atau menahan pandangan mata kita untuk tidak melihat hal-hal yang mendorong diri kita untuk berbuat kemaksiatan. 


Puasa khusus yang dikhususkan adalah puasa hati, yaitu puasa hati dari memperturutkan diri untuk memikirkan hal-hal duniawi, menahan diri dari untuk tetap istiqomah hanya memikirkan Allah dan selalu mengingat-Nya. Inilah derajat tertinggi dari puasa.

Sekarang kita kembalikan pada diri kita sendiri, yang bisa mengukur sampai dimanakah derajat puasa kita yang selama ini kita jalankan. 

Lantas kita harus selalu memperbaiki kualitas puasa kita, setiap hari kita harus bisa mengukur dan menimbang sampai dimanakah derajat puasa kita? 

Karena tanpa melakukan demikian, maka kita tidak mungkin bisa mengetahui seberapa jauh kita telah menghabiskan energi untuk menjalankan ibadah puasa, tanpa memeperoleh derajat yang tinggi disisi Allah swt. 

Sudahkah puasa tersebut bisa betul-betul terefleksikan dalam keseharian kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun