Yogyakarta -- Proyek food estate yang dikembangkan sebagai bagian dari program ketahanan pangan nasional kini menuai kritik keras dari kalangan akademisi dan pemerhati lingkungan. Salah satu suara kritis datang dari Nur Azizah Qurrotuaini, mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam wawancara yang dilakukan dan makalah ilmiahnya, Nur Azizah menyatakan bahwa proyek food estate telah menyebabkan deforestasi besar-besaran yang mengancam keberlanjutan lingkungan dan hak masyarakat adat.
"Proyek food estate di Indonesia menyebabkan deforestasi besar-besaran, yang berdampak negatif terhadap lingkungan, seperti peningkatan emisi karbon, kerusakan hidrologi, penurunan keanekaragaman hayati, dan meningkatnya risiko bencana alam," ungkapnya.
Proyek food estate adalah program pemerintah yang bertujuan untuk membuka lahan pertanian dalam skala besar di berbagai wilayah Indonesia, terutama Kalimantan dan Papua. Namun dalam pelaksanaannya, proyek ini justru membuka ribuan hektar kawasan hutan, termasuk lahan gambut, tanpa perencanaan lingkungan yang matang. Data dari Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa deforestasi di Papua meningkat dua kali lipat pada periode 2022--2023, mencapai 190.000 hektar. Hal ini menyebabkan emisi karbon mencapai 782,45 juta ton, serta memperburuk sistem hidrologi di wilayah tersebut.
Di Kalimantan Tengah, proyek ini mengakibatkan pembukaan lebih dari 1.500 hektar hutan, termasuk area gambut yang seharusnya dilindungi. Ironisnya, beberapa lahan yang telah dibuka justru mangkrak dan tidak dimanfaatkan sebagaimana rencana awal. Salah satu contohnya adalah lahan seluas 600 hektar untuk budidaya singkong yang terbengkalai, meningkatkan risiko erosi tanah dan degradasi lingkungan.
Dampak ekologis lainnya adalah hilangnya habitat flora dan fauna endemik. Di Sumatera Utara, sekitar 100 hektar hutan yang menjadi habitat harimau Sumatera dan beruang madu turut dibuka untuk food estate. Di Papua, deforestasi menyebabkan hampir punahnya berbagai spesies langka, termasuk orangutan dan berbagai jenis tanaman endemik. Proyek ini juga memperparah bencana alam. Di Sumatera Barat, deforestasi menjadi salah satu penyebab utama banjir bandang dan longsor yang memakan korban jiwa.
Nur Azizah mengidentifikasi beberapa faktor utama penyebab deforestasi akibat proyek ini, di antaranya kurangnya perencanaan yang komprehensif dan tidak adanya kajian lingkungan yang menyeluruh (AMDAL). Selain itu, lemahnya penegakan hukum lingkungan, tekanan ekonomi demi swasembada pangan, dan keterlibatan kepentingan ekonomi yang mengabaikan hak masyarakat lokal juga menjadi penyebab utama. "Pemerintah terlalu terburu-buru. Ketahanan pangan memang penting, tapi bukan berarti harus mengorbankan lingkungan dan masyarakat adat," ujarnya.
Ia juga menyoroti perubahan kebijakan dalam Undang-Undang Cipta Kerja, yang dinilai melemahkan perlindungan lingkungan. Salah satunya adalah perubahan Pasal 26 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yang semula mewajibkan pelibatan masyarakat terdampak dalam AMDAL, namun kini dibatasi hanya pada masyarakat "yang terkena dampak langsung." Hal ini mempersempit ruang partisipasi publik dan mengecualikan kelompok masyarakat adat serta LSM lingkungan.
Lebih lanjut, Pasal 22--26 dari UU Cipta Kerja juga mempermudah konversi kawasan hutan untuk proyek strategis nasional, termasuk food estate. Kewajiban untuk mempertahankan minimal 30% tutupan hutan dalam satu wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) atau pulau bahkan dihapus, yang berpotensi membuka celah untuk deforestasi besar-besaran.
Nur Azizah menawarkan sejumlah solusi yang bisa diterapkan pemerintah untuk meminimalisasi dampak proyek ini. Pertama, proyek food estate harus berbasis pada kajian lingkungan strategis yang mendalam. Wilayah hutan primer dan lahan gambut harus dikecualikan dari pembukaan lahan. Kedua, penguatan penegakan hukum menjadi sangat penting, termasuk memperketat moratorium hutan dan mengevaluasi kembali pasal-pasal bermasalah dalam UU Cipta Kerja.
Selain itu, ia juga mendorong adopsi pertanian berkelanjutan berbasis agroforestry, yang dapat meningkatkan produksi pangan tanpa merusak lingkungan. Partisipasi aktif masyarakat adat dan lokal juga menjadi kunci. Prinsip PADIATAPA (Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan) harus diterapkan dalam setiap tahap proyek.
"Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil harus bekerja sama. Tidak cukup hanya dengan membuka lahan, kita perlu visi jangka panjang yang adil dan berkelanjutan," tegasnya.