"Ibu mau apa ke sini?" tanya Pak hakim.
   "Saya mau cerai, Pak." Dengan mata yang mulai berkaca-kaca perempuan tersebut menjawab pertanyaan dari hakim ketua majelis.
   "Loh, kenapa mau cerai? Padahal lagi musim hujan loh Bu. Mending jangan," ucap Pak Hakim dengan nada agak guyonan.
   Sontak kami juga menahan ketawa di ruang sidang yang katanya sakral itu. Tapi, melihat dari awal sidang oleh hakim yang satu ini, nampaknya ruang sidang sudah tidak semenakutkan yang dibayangkan oleh banyak orang. Yang ada justru suasana yang rileks, nyaman, namun marwah meja hijau tetap terjaga.
Perempuan itu tersenyum, humor pak hakim masuk juga. Lalu ia berkata, "Ah, enggak pak. Saya sudah tidak kuat lagi."
   "Tak kuat apo toh bu? Coba ibu jelaskan," ucap pak hakim.
   "Suami saya sudah tiga tahun meninggalkan saya, sudah tidak beri nafkah lagi." Air mata mulai berjatuhan. Nada bicara perempuan itu juga agak mengecil.
   "Selama tiga tahun ini apakah tidak ketemu sama sekali atau bagaimana bu?"
   "Ya, awalnya pernah tiga sampe lima bulan sekali pulang, namun itu pun hanya sebentar. Gak lebih dari 3 hari, ia berangkat lagi. Lalu enam bulan terakhir ini sama sekali tidak pulang-pulang. Dan kabarnya pun gak tahu pasti kaya gimananya."
   "Oh, macam tu. Ibu tinggal sama siapa sekarang?"
   "Sama ibu, pak."