Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Soal Sampah Plastik; Mengapa Hanya Konsumen yang 'Dibidik'?

21 Februari 2016   16:42 Diperbarui: 21 Februari 2016   21:56 1658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bersamaan dengan Hari Peduli Sampah Nasional tanggal 21 Februari ini, Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan mencanangkan plastik berbayar di setiap ritel modern. Hari ini dimulai, serentak di 23 kota di Indonesia. Harga yang ditetapkan adalah minimal Rp 200/plastik. Jadi mungkin saja setiap kota akan memiliki kebijakan harga yang berbeda.

Sebenarnya sosialisasi soal plastik berbayar ini sudah dilakukan beberapa minggu yang lalu. Buktinya mbak yang kerja di rumah kemaren nanya, "Neng, ntar pake plastik bayar ya? Aduh neng, udah beli makan aja susah, sekarang pake plastiknya bayar lagi. Padahal plastik yang dipake juga gak langsung dibuang. Mesti dipake lagi untuk macem-macem." Jadi si mbak aja tahu,dan dalam teori pengurangan sampah, dia sudah melakukan 'reuse' atau pemakaian ulang.  Terus saya bilang, itu kalau belanjanya di swalayan. Kalau pasar tradisional mah belum." Syukur dah, katanya. 

Yang saya heran, kenapa hanya konsumen yang 'dibidik' soal sampah plastik ini dengan dibuat berbayar? Bagaimana dengan tanggung jawab pemerintah dan pelaku usaha? Pemerintah misalnya mengenai sistem pengelolaan sampahnya sendiri yang masih amburadul. Gimana gak amburadul, kalau pengumpulan sampahnya masih disatukan. Lah teman saya ada yang militan soal sampah sampai memisahkan berbagai jenis sampah, eh sama petugas pengumpul sampahnya tetap disatukan tuh.

Seharusnya kita bisa meniru Jepang dalam mengumpulkan sampah dari rumah tangga. Pengumpulan sampah organik tiap hari, misalnya, terus sampah plastik 2 hari sekali, sampah bahan berbahaya seminggu  sekai, dst. Jadi di rumah tangga sudah tersosialisasi dengan baik pemisahan sampah ini, sehingga ketika petugas datang untuk pengambilan sampah tertentu, mereka sudah siap. Dan disetiap ruang publik, tempat sampah tersedia dengan baik, juga dengan tong sampah yang terpilah.

Sedangkan pelaku usaha, nah ini sebenarnya 'biang' banyaknya sampah plastik.  Kalau saya jala-jalan, sampah plastik paling banyak,  kalo gak kemasan air minum ya sampah kemasan mie instan. Jarang lihat sampah kantung plastik. Resto saja masih banyak yang pakai kemasan styrofoam/plastik sebagai wadah makanannya.

Apa tanggung jawab mereka terhadap sampah plastik yang mereka hasilkan? Dulu ada tuh produk minuman kemasan,-sebelum dibeli asing-, sangat concern pada masalah lingkungan dengan membuat tempat-tempat pengumpulan sampah kemasan plastik minumannya. Jadi produsen ini punya tempat tertentu dimana konsumen dianjurkan untuk membuang sampah plastik minumannya kesini. Malah sampah kemasan minuman ini 'dihargai' perbotol kemasannya.

Mengapa ini tidak dilanjutkan juga oleh produsen yang lainnya? Membuat tempat menaruh sampah kemasan produknya di ritel modern misalnya? Tidak perlu per-merek, misalnya asosiasi mie instan menyediakan tempat tertentu bagi konsumen untuk 'mengembalikan' kemasan mie instan kepada empunya. Begitu juga asosiasi air minum dalam kemasan (AMDK), dan minuman kemasan lainnya.

Soalnya buangan sampah kemasan plastik inilah yang sekarang mendominasi sampah plastik. Terutama di tempat-tempat wisata. Dan pelaku usaha juga diminta 'mendidik' customernya untuk mau mengembalikan sampah kemasan tersebut ke produsennya.

Jadi jangan hanya konsumen yang dibidik. Enak tenan ngutip Rp 200/plastik. Mana pengelolaannya gak jelas lagi. Begitupun cara mengauditnya. Siapa yang mengelola? Aprindo? KLHK? Transparansi pengelolaan kutipan itu juga sangat penting untuk pertanggungjawaban kepada konsumen yang sudah bayar.

Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!

 

 

 

 

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun