Hingga sore hari ini (Kamis, 3 Mei '18) rupiah melemah hingga nyaris menyentuh Rp 14 ribu. Pelemahan ini cukup aneh, karena mata uang di berbagai negara lain di kawasan Asia malah memiliki tren menguat seperti Yen, won, dolar taiwan, dolar singapura, baht, dan peso. Hanya ringgit dan rupiah yang melemah, tetapi ringgit tidak separah rupiah melemahnya.
Padahal BI sudah menggelontorkan cadangan devisa untuk menstabilkan rupiah, tetapi tetap tidak mampu stabil. Ada apa ini, benarkah ekonomi kita baik baik saja? Benarkah pelemahan rupiah tidak semakin menekan industri?Â
Pelemahan ini jelas memberi dampak beban berat bagi impor bahan baku yang dilakukan oleh industri. Selain itu, nilai hutang baik pemerintah dan swasta terhadap asing akan meningkat karena rupiah yang makin loyo.
Pelemahan rupiah bukan hanya terjadi karena faktor eksternal. Tetapi juga karena defisit neraca perdagangan Indonesia yang cukup parah. Dari catatan BPS, akumulasi defisit Januari-Februari 2018 mencapai USD 780 juta.Â
Ya gimana gak defisit, semua produk impor mulu. Kran impor dibuka selebarnya. Mulai dari impor beras yang jor joran (sedihnya dilakukan saat panen raya), daging dari India (padahal dikhawatirkan belum bebas penyakit mulut dan kuku), garam, hingga besi baja. Padahal kita punya industri besi baja. Ini jor joran impor bukan karena tahun politik kan?
Sementara untuk ekspor masih mengandalkan komoditas (bukan manufaktur) yang harganya masih tertekan hingga kini. Untuk industri, bahan bakunya juga masih mengandalkan impor.
Selain itu, perdagangan saham juga ditopang hot money, dimana beberapa waktu ini IHSG juga terjun bebas. Aksi jual sangat besar, mencapai trilyunan rupiah.
Dan ketika seorang teman di fb bilang, dia ketemu berbagai pengusaha yang bilang penjualan lesu sekarang. Memang iya, karena data BPS juga menunjukkan konsumsi yang melambat. Berarti emang daya beli menurun. Penjualan lesu.