Sebagai penggemar tomat dan wortel yang rutin dijus hampir setiap hari, rasanya ngenes banget lihat petani membuang buah tomatnya, karena panen berlimpah sementara harganya terlalu rendah. Bahkan teman yang bertani organik di Boyolali, tomatnya hanya dihargai Rp 800/kg. Ya ampiun, serasa gak ada harga. Dan hari ini saya dikabari bahwa di Kementan, Ragunan ada pasar tani. Langsung meluncur kesana. Kirain tadinya pasar tani yang semua sayur mayur ada, hihii. Ternyata beberapa komoditas saja, termasuk ayam, cabe dan yang berlimpah ruah adalah tomat.
Pas saya datang, ayam sudah habis, sementara cabe lumayan, yang masih banyak banget ya tomat. Cabenya dijual Rp 30.000-an/kilo kalo gak salah. Sedangkan tomat, per-plastik isi 2 kg dijual Rp 5000. Ada juga yang per plastik 5 kg dijual Rp 10.000. Itu berarti perkilo seharga Rp 2000 saja. Ya ampiun, padahal kalo beli di ritel modern, harganya bisa belasan ribu per-kg loh. Saya beli 8 kg, untuk dibagiin ke teman-teman kantor.
Ketika saya tanya-tanya, tomat yang saya beli baru saja diangkut pake truk 4,8 ton dari Boyolali. Sementara, barisan meja disebelahnya, itu tomat dari Garut (yang kasus dibuang-buang itu loh). Sedangkan disisi depannya tomat dari Cianjur. Semuanya masih berlimpah. Yang belanja lumayan rame juga, terutama dari pegawai Kementannya sendiri.
Sungguh saya apresiasi keinginan Kementan untuk menyerap tomat dari petani ini. Coba kementerian lain juga melakukan hal yang sama. Berapa sih sewa truk, kan gak mahal-mahal amat, mesti deh, hasil panen dari petani ini semua bisa terserap. Dengan terserapnya hasil panen ini, berarti petani mempunyai pendapatan dari hasil tomat tersebut. Punya pendapatan berarti menjaga daya beli, sehingga ekonomi masih tetap bisa tumbuh, sekecil apapun itu.
Selain itu, coba apa kita bisa beli online dari petani langsung? Atau petani terhubung dalam jaringan internet yang bisa mengkoneksikan hasil panennya seperti apa? Kemudian kelompok-kelompok masyarakat bisa diorganisir kebutuhan mingguannya berapa (jangan individu, ribet kali ngirimnya), langsung deh pesen ke kelompok petani. Biaya termasuk ongkir. Kalau ini bisa dilakukan, petani bisa dapat harga yang bagus, konsumen juga bisa dapat harga yang baik, karena rantai distribusi yang terlalu panjang bisa dipotong. Termasuk juga 'memotong'Â jeratan tengkulak dan para mafia pengendali harga yang sering merugikan petani.
Selain penyerapan secara langsung, diharapkan petani juga memiliki kemampuan pengolahan pasca panen sederhana. Seperti pengeringan tomat (yang bisa awet lebih lama), atau dibikin pasta untuk saus tomat. Tetapi gimana gak geregetan yak, itu GAPMMI (Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia) bilang mereka lebih suka pasta tomat impor! Kalo gini, apa kudu bikin kampanye boikot saus tomat pasta impor? Piuhhh, padahal harga tomat dari petani sudah sedemikian rendahnya!
Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!
Â
Â
Â
Â