Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Jokowi-Ahok, Kok PBB Warga Jakarta Naiknya Tinggi Sekali?

26 Maret 2014   17:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:26 2025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Jakarta naiknya tidak kira-kira. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) saja naik hingga 120-240%, sementara PBB-nya bisa naik hingga dua kali lipat. Alasan Jokowi-Ahok menaikkan NJOP tersebut karena harga jual atau harga pasar sudah jauh lebih tinggi lagi dari harga NJOP.

Padahal, tidak semua area harga pasar lebih murah dari NJOP. Seperti area Jakarta Timur, daerah Cirasas, NJOP lebih mahal dari harga pasarnya.

Ada beberapa keberatan terkait dengan PBB yang naiknya gila-gilaan ini:

1. Masih banyak warga asli Jakarta atau Betawi yang memiliki rumah/tanah di tengah kota Jakarta. Kenaikan pajak seperti ini bisa membuat mereka tidak sanggup membayar pajak, dan akhirnya akan menjual tanahnya dan kemudian semakin beralih ke pinggiran kota. Warga asli semakin terpinggirkan dari daerahnya sendiri.

2. Tidak semua warga yang tinggal di daerah 'mahal' adalah warga mampu. Banyak yang pensiunan, memang sudah lama tinggal disana. Apa mereka juga harus pindah ke pinggiran kota, jika tidak sanggup bayar? Kebetulan teman yang ortunya pensiunan tinggal di daerah elit dekat Blok M. Pajaknya naik sudah dua kali lipat, dari Rp 6 juta ke Rp 15 juta. Dan kemarin mereka sudah pada kasak kusuk ke RT, terus mau protes rame-rame. Gak tau bentuknya seperti apa, demo kali atau bagusnya langsung lapor ke Ahok, karena nomernya sudah tak kasih.

Teman saya ini bisa saja menjual rumahnya seperti kata Ahok, dapat rumah di pinggiran kota, yang masih murah, duitnya bisa diinvestasikan. Tetapi yang jadi pikiran, kalau kerja di tengah kota juga, masa iya, setiap hari berjam-jam menikmati kemacetan Jakarta yang luar biasa, memakan energi, waktu dan biaya transportasi karena tinggal di pinggiran kota?


3. Penghitungan NJOP Jakarta sendiri masih semrawut. Harusnya ditata dulu yang benar, mana yang betul-betul daerah isinya warga kaya atau super kaya, mana yang memang masyarakat menengah-bawah. Kesemrawutan ini bisa dilihat di jl. Dharmawangsa dekat Blok M. Tetanggaan sebelah rumah aja NJOP-nya berbeda, satu Rp 18 juta/m, satu lagi Rp 15 juta/m. Padahal tetanggaan, satu jalur, satu jalan. Jadi perlu ada pembenahan serius mengenai penilaian NJOP ini.

4. Jokowi menyatakan bahwa rakyat yang tidak setuju bisa mengajukan keberatan, dan nanti akan didiskon maksimal 50%. Nah mekanismennya gampang gak? Dari pengalaman teman yang mengajukan keberatan, pensiunan saja yang dikasih potongan, tetapi itupun tidak besar. Dan setiap tahun potongannya malah turun.

Bisa jadi kenaikan NJOP ini juga akan memicu kenaikan tanah dan properti di Jakarta semakin tinggi. Karena alasan seperti itu, pemukiman di Jakarta semakin tidak terjangkau oleh kelas menengah, apalagi yang tidak mampu. Jadinya ntar yang menghuni Jakarta, bisa jadi kelas borjuis yang kaya atau super kaya, sementara kelas menengah  memburu pemukiman di pinggiran kota, dan menghabiskan umur, mengikis kesehatan, energi dan waktu dijalanan menuju kerja di Jakarta. Bisa 2 jam-an loh, pp 4 jam, kalo punya rumah di pinggiran Jakarta, kerjanya di Sudirman atau tengah kota.

Kalaupun mau naik, mbok ya naiknya gak terlalu drastis. Jangan sekedar mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang ditargetkan naik Rp 5,7 Trilyun tahun ini, tetapi membebani warga Jakarta.  Mending yang usaha sembarangan gak pake pajak tuh yang dikejar. Seperti montir motor yang sekarang banyak banget bertebaran di area pemukiman, sudah ngotorin jalanan, make trotoar, limbah dibuang sembarangan, kalo ngetes motor bisingnya gak ketulungan, nah itu, mereka bayar pajak gak?

Ya sudah gitu saja, Salam Kompasiana!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun