Arsitektur selalu dimulai dari niat---niat untuk membangun, melindungi, atau mengikat sesuatu di dalamnya. Hubungan manusia pun demikian. Saya dan seseorang membangun sebuah "bangunan" bersama: fondasinya rasa sayang, dindingnya komitmen, atapnya keyakinan bahwa meski tidak akan berakhir di pernikahan, kami tetap bisa hidup di dalam ruang yang sama, setia, dan saling menjaga.
Namun, seperti halnya bangunan, hubungan juga diuji oleh waktu dan peristiwa. Ruang hangat tempat kami tinggal perlahan mengalami perubahan. Pencahayaan yang dulu temaram dan nyaman mulai terasa redup. Beberapa bukaan yang dulu terbuka lebar kini ditutup rapat demi menjaga isi ruang. Saya merelakan akses saya ke dunia luar demi menjaga kestabilan bangunan ini, sementara dia sesekali melangkah keluar, bahkan menuju sebuah tempat jauh di seberang samudra---tempat yang pernah ia janji tidak akan ia tuju.
Janji itu adalah salah satu balok struktural yang menopang kami. Saat ia patah, saya masih mencoba menopangnya dengan pengertian. Tetapi yang merobek saya bukan hanya kepergiannya, melainkan caranya memaknai langkah itu di hadapan dunia: kata-kata yang ia tulis seperti dinding baru yang dibangun tanpa memikirkan proporsi ruang lama, membuat saya merasa kecil dan tak dianggap di dalamnya.
Dalam refleksi arsitektur, saya melihat perjalanan ini seperti rangkaian ruang:
Ruang Hangat: material kayu, cahaya kuning, skala intim---masa cinta yang membungkus dan melindungi.
Koridor Kompromi: lorong memanjang yang mulai menyempit---pengorbanan yang diam-diam membuat napas sesak.
Ruang Retak: dinding pecah, cahaya dingin menyelinap---janji yang patah, rasa percaya yang runtuh.
Ruang Konfrontasi: tinggi, sempit, cahaya dari atas---kesadaran yang memaksa kepala menengadah, menghadapi realitas.
Ruang Lepas: terbuka, luas, cahaya putih, material dingin---akhir perjalanan bersama, dimulainya langkah masing-masing.
Kini, bangunan itu tidak lagi saya huni. Ia berdiri sebagai monumen pribadi: bukan untuk saya kembali, melainkan untuk saya kenang. Dari hubungan ini, saya belajar bahwa arsitektur tidak selalu tentang membangun yang abadi, tetapi juga tentang menerima bahwa beberapa ruang memang diciptakan untuk ditinggalkan---agar kita bisa melangkah ke ruang lain yang menunggu di depan.