Mohon tunggu...
Iloeng Sitorus
Iloeng Sitorus Mohon Tunggu... wiraswasta -

Hidup itu seperti hubungan suam istri.\r\nKadang diatas, kadang dibawah. :D

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Hutang Kini Semakin Dekat Dengan Rakyat?

19 Mei 2014   22:00 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:21 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ingat..!! Hutang bisa jadi penghalang masuk syurga, itupun kalau enggak gentayangan, kalau gentayangan.? Masuk Uji Nyali dong..!! Sumber : http://surabayatribune.blog.com/

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Ingat..!! Hutang bisa jadi penghalang masuk syurga, itupun kalau enggak gentayangan, kalau gentayangan.? Masuk Uji Nyali dong..!! Sumber : http://surabayatribune.blog.com/"][/caption] Hutang, siapa sih yang tidak berhutang.? Orang kaya yang mobil dan usahanya banyak saja punya hutang, dari suku A hingga suku Z semua punya hutang. Kini hutang bisa dikategorikan gaya hidup kebanyakan orang Indonesia (alamak..!!). Semakin dekat saja nih Hutang dengan rakyat, hadeh Yang dimaksud disini bukanlah hutang seperti perusahaan yang memiliki hutang untuk usaha, juga bukan hutang pelaku usaha untuk modal usahanya. Melainkan hutang untuk kebutuhan hidup juga hutang untuk usaha tapi hutangnya ke pengusaha juga, entah itu kebutuhan primer, skunder, maupun kebutuhan tersier. Hutang kebutuhan primer. Biasanya hutang yang model begini benar-benar masuk kategori kurang mampu secara ekonomi, bisa juga karyawan yang akan berhutang disaat tanggal tua. Sandang, pangan, papan serta pendidikan yang paling diutamakan namun uang belum ditangan tapi  kebutuhan harus segera diatasi. Menurut hemat saya, hutang kategori ini masih bisa ditolelir atau wajar demi kelangsungan hidup. Masa kita mau tanpa sandang (pakaian) bisa makan (pangan) yang enak.? Atau sekolah (pendidikan) disekolah internasional tapi rumah(papan) masih ngontrak dan makan terancam, juga baju (sandang) cuma sarungan doang.? Kan enggak lucu. Maka dari itu, mau tidak mau hutang menjadi pilihan utama. Itupun mending kalau masih ada yang bisa dihutangin, lah kalau kagak ya gimana lagi. Hutang kebutuhan skunder Biasanya hutang model beginian ingin nyaman namun doku alias uang enggak cukup kalau kontan, mau tidak mau hutang dengan cara dicicil dalam jangka waktu pun menjadi pilihan utama, selagi masih ada anggaran untuk mencicilnya. Seperti yang kita ketahui, kebutuhan skunder adalah kebutuhan pelenkap hidup. Tanpa harus menikmati kita masih bisa hidup hanya dengan kebutuhan primer (sandang, pangan, papan, dan pendidikan * kalaupun tanpa pendidikan juga masih bisa hidpu kok) Hutang kebutuhan Tersier Seperti kita ketahui, kebutuhan Tersier adalah kebutuhan akan barang-barang mewah seperti mobil, perhiasan, pesawat tempur, eh maksudnya pesawat pribadi juga dan lain sebagainya. Yang mempunyai hutang untuk kategori ini sebenarnya untuk kalangan elit atau orang beduit yang rata-rata pendapatannya lebih dari cukup untuk dua kebutuhan sebelumnya. Ya ga logis dong punya hutang mobil tapi rumah (papan) tidak punya.? Emang mau tidur dimobil.? Atau punya hutang perhiasan tapi enggak pake pakaian (sandang), mau semahal atau secantik apa pun perhiasan itu tetep aja enggak enak dipandang. Namun kini budaya hutang memang sudah melekat di diri kita, baik itu orang (pura-pura)susah, orang (pura-pura) kaya atau orang gampang-gampang susah pasti mempunyai hutang. Yang menjadi persoalan disini, kenapa hutang kebutuhan (bukan utama lah pokoknya) lebih condong kepada rekan atau orang yang kenal namun usahanya cuma kecil-kecilan. Pake acara Marbulut lagi, apa pengen rekan atau orang yang dikenalnya gulung tikar usahanya.? Kalo ada bail out dari kayak Bank Century sih enggak apa-apa, yang ada modal habis untung tak dapat. Loh, kok sepertinya penulis punya pengalaman nih.? Hemmm..

Hutang Usaha Kepada Pelaku Usaha

Saya cuma heran saja, selaku pelaku usaha (kecil-kecilan) sering kali mendapat hutangan yang akibatnya berujung dimarbuluti (udah sering sebut marbulut, tapi kok enggak dijelaskan ya.? Ntar cari tahu aja ya kawan). Biasanya dalam usaha kita punya rekanan dalam usaha, semisal saya yang buka outlet pulsa tentu mencari mitra untuk menjalankan usaha pulsa model deposit (semua operator). Entah memang nasib yang sudah digariskan, selalu saja ditanya terlebih dahulu "bisa minta saldo dulu kan melalu sms.? " Atau, "habis saldo baru dibayar bisa kan." Biasanya itu pernyataan atau pertanyaan dari seorang yang sudah sebagai pelaku usaha, bukan calon pelaku usaha. Entah bagaimana mereka itu bisa usaha dan bermitra dengan pelaku usaha yang lebih besar yang juga warga keturunan china. Konon, menurut pelaku usaha yang warga keturunan itu tidak ada kata hutang dalam bermitra. Kalaupun ada itu juga tergantung omset penjualan mitranya. Hal ini juga dikemukakan oleh pengusaha outlet pulsa dan telpon selular koh Amin namanya. "Bersaing dalam bisnis bukan berarti terlalu memudahkan cara, namun kita coba melayani mitra usaha dengan cara lain. Salah satunya miringkan harga, maka secara otomatis pelanggan akan bertambah tanpa harus dihutangi" ucap pengusaha warga keturunan ini  ketika saya belanja spare part Handphone dioutetnya. Bukan cuma pengakuan, mata kepala saya sendiri menyaksikan pelaku usaha pulsa yang bolak balik mengisi deposit pulsa secara kontan tanpa hutang. Kalau dicek harga, sepertinya murahan saya ketimbang koh Amin yang setiap pelanggan isi deposit selalu kontan itu. Tapi kenapa kalau saya mencoba orang untuk bergabung selalu ditanyakan seperti yang saya sebut diatas.? Apa mata saya tidak secipit koh Amin dan lainnya.? Ah, sudahlah, bisa jadi mental mereka memang mental hutang. Bukan cuma sekedar pelaku usaha, konsumen pun sering menghutang kepada saya yang hanya pelaku usaha kecil, dan sering berujung tidak dibayar. Secara ekonomi, penghasilan cukup lumayan dan masih Alhamdulillah untuk kategori pelaku usaha kecil. Namun secara matimatika kurang masuk akal. Misalkan penghasilan Rp. 200.000,- yang dihutangi sekitar Rp.150.000,- sisa Rp.50.000,- dikurangi biaya hidup dan kebutuhan wajib lainnya Rp. 100.000,- maka hasilnya menjadi - (minus) Rp.50.000,- . Nombok bro..!! Okelah anggap hutang tersebut dibayar, walau agak lama. Modal yang cuma Rp.5.000.000,- setiap harinya rata-rata berkurang 50ribu rupiah atau Rp.50.000,- dikalikan 30 hari sama dengan Rp.1.500.000,-. Dengan adanya istilah "marbulut" tadi, hutang pelanggan yang totalnya Rp.1.500.000,- bisa jadi hanya kembali diangka Rp.1.100.000,- perbulannya. Tega kamu, hiks. Crott.. Lah, saya ini nulis pengertian hutang menurut versi saya apa nulis kisah korban marbulut sih.? Embohlah yem, ngerilah pokoke sak akar-akare metu banyune. Cuma satu pesanku, Hutang bisa menghambat seseorang masuk syurga loh. Itupun kalau diterima di Akhirat, lah kalau gentayangan.? Mau jadi apa hantunya.? hihihi :D Ya sudah, untuk sementara no Hp dinonaktifkan dulu. Bbm di nonaktifkan juga. Fesbuk juga, twitter juga, kompasiana.? Jangan dulu, hanya kawan-kawan dikompasiana yang enggak pernah hutang. Saya jamin itu seratus persen kurang satu persen. Satu persennya paling bang pilot lah, hihihihi... :D Salam palaksiana, eh kompasiana. (Nampak kali dulu pernah dikompas, eh dipalak) #Palakawak

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun