Mohon tunggu...
Willy Illuminatoz
Willy Illuminatoz Mohon Tunggu... wiraswasta -

Easy going, always smile, and enjoying life

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hubungan antara Ilmu Pengetahuan Modern (Modern Science) dan Agama (Theology)

21 Juli 2013   22:08 Diperbarui: 4 April 2017   18:02 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tak pelak lagi, perubahan dalam cara pandang dunia tidak hanya menimbulkan kesulitan besar bagi filsafat dan teologi tetapi juga menimbulkan kesulitan bagi ilmu pengetahuan ilmiah. Ilmu pengetahuan ilmiah tidaklah mampu – berlaku juga bagi filsafat dan teologi – untuk menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang ada sendirian. Lebih dari pada masa sebelumnya, ketiganya saling bergantung dalam kolaborasi yang saling menguntungkan. Kini lebih dari kapanpun – setelah begitu banyak tuduhan yang diluruskan dan begitu banyak kesalahpahaman dari kedua belah pihak yang ditanggalkan – kolaborasi yang demikian akan sangat memungkinkan dan berguna. Sehingga kita tidak lagi membutuhkan permusuhan yang menguntungkan atau – seperti yang terjadi saat ini – bukan pula koeksistensi damai belaka, melainkan sebuah kerjasama dialogis-kritis yang bermakna antara teologi dan pengetahuan ilmiah dalam menghadapi dunia yang satu dan bagi tujuan kemanusiaan.

Jalan Perbaikan

Mungkin seorang ilmuwan akan berkata bahwa masalah-masalah filosofis-teologis bukanlah kepentingan mereka dan tidak menarik perhatian sebagaimana seorang filsuf atau teolog pula akan berkata bahwa masalah-masalah matematik-ilmiah bukanlah kepentingan mereka dan tidak menarik. Tetapi sikap demikian malah membuat masalah yang nyata tidak terselesaikan dengan baik, sehingga membuat masalah tersebut terabaikan oleh sikap pengingkaran dan arogan. Sebagaimana filsuf dan teolog secara praktis hidup setiap hari berdasarkan “penerapan” ilmu matematika dan pengetahuan ilmiah, demikian juga ilmuwan secara praktis hidup sehari-hari – tentu menerima dengan cara berpikir yang sangat berbeda – berdasarkan realitas yang menopang dan memungkinkan berbagai fenomena di dunia ini terjadi.

Jadi, perkiraan yang memungkinkan kolaborasi dialogis-kritis antara teologi dan pengetahuan ilmiah adalah, tentu saja – selain daripada kritik yang ditujukan secara langsung kepada pengetahuan ilmiah dan teknologi – adalah jalan perbaikan radikal bagi agama-agama dan teologi. Apa yang diinginkan di abad 17 – yaitu abad yang kita ingat sebagai “abad para jenius” – yang telah dinantikan sejak abad 19 (dengan teori evolusinya) pada akhirnya harus segera disadari bukan hanya dalam kata-kata melainkan juga dalam tindakan. Cara pandang dunia abad pertengahan harus ditinggalkan dan sebagai konsekuensinya, menerapkan cara pandangdunia modern, hasilnya untuk itu bagi teologi sendiri akan tak terbantahkan, yaitu transisi definitive kepada paradigma baru.

Reorientasi metodik secara tak terbantahkan telah berlangsung sejak lama, namun hal ini harus dikerjakan secara konsisten dan komprehensif. Reorientasi konsisten seperti ini kemudian tidak seharusnya dihalangi oleh upaya penyerangan dan taktik-taktik tersembunyi baik dalam pemahaman akan Tuhan atau pemahaman akan keadaan asal manusia dan pemahaman akan dosa asal, dalam ajaran Kristologi Tinggi maupun Rendah, dalam masalah mengenai etika dan moralitas seksual atau mengenai pemahaman akan “Hari Penghakiman” (kematian, setan, penghakiman terakhir, surga dan neraka). Jalan perbaikan ini berlaku dan ditujukan bagi berbagai teologi tradisional, khususnya, pada satu sisi, bagi Protestant fundamental yang tetap terikat pada kata-kata dari Alkitab dan, pada sisi lainnya, bagi teologi skolastik tradisional mulai dari zaman barok skolastik Spanyol hingga neoskolastik…

…Pada umumnya, bagaimanapun juga, teologi kontemporer secara mengejutkan bergerak menuju arah lain. Penerimaan pertama teologi akan paradigma baru telah berlangsung sejak dahulu dan diantara banyak orang, yaitu dalam hubungannya dengan penerimaan cara pandang modern dan dalam pengembangan metode historis-kritis dalam hal: diterapkannya secara penuh pada penafsiran dan sejarah Gereja, dan juga dalam etika dan teologi praktis, lebih ketat dari pada di bidang dogmatika, yang mana lebih dekat terikat kepada tradisi Gereja… Sebuah jalan perbaikan yang konsisten akan berjalan dengan baik hanya jika keputusan yang keliru dan tindakan yang salah dari beberapa bagian dari institusi agama dan teologi diakui secara jujur… [dan] mengembangkan teologi sebagai satu kesatuan yang jelas dan konsistendalam keserasian yang tak terpungkiri bersama data-data pengetahuan ilmiah yang relative terjamin. Perang dingin maupun perang terbuka antara teologi dan pengetahuan ilmiah kini tidak seharusnya diikuti oleh koeksistensi terputus dan tak bernyawa melainkan diikuti oleh debat yang konstruktif – tanpa tirai kertas dan besi – mengenai satu dunia dan satu kemanusiaan, mengenai kebenaran, kesatuan, makna dan nilai dari seluruhnya. Ini merupakan sebuah tugas, tentunya, sangat jauh melampaui sumberdaya sebagian individu atau kelompok… Secara mengejutkansejak jaman Plato dan Aristoteles sampai kepada jaman analitik dan filosofi sosio-kritis, telah terjadi polarisasi secara besar-besaran. Hasilnya, secara mengejutkan terjadi pemisahan antara mistisme dan skolatisme, pendidikan klasik dan modern, kemanusiaan dan pengetahuan ilmiah. Secara mengejutkan pula, terjadi kontras antara rasionalitas dan pengalaman, penjelasan dan pemahaman, penilaian dan pemaknaan, antara esprit de geometrie (the spirit of mathematics) dan esprit de finesse (the intuitive mind). Namun bukankah memungkinkan untuk terjadinya sedikit kolaborasi, komunikasi antara dua bentuk pemikiran ini?... Blaise Pascal, ilmuwan dan filosof Prancis, pada faktanya “percaya akan kemungkinan penyatuan atau rekonsiliasi antara dua sikap yang berbeda” dan sungguh “Pascal barangkali dapat dinobatkan sebagai contoh sintesis yang berhasil antara dua bentuk pemikiran,” walaupun –sebagaimana diketahui – “dalam pribadinya satu tipe lebih menonjol dari pada yang lainnya”. Jadi, tesis rangkap dua untuk rasionalitas modern akan berurusan dengan pengetahuan modern, kemudian relasi antara pengetahuan ilmiah dan teologi, dan terakhir – hanya dalam bentuk persiapan – relasi antara ilmu pengetahuan dan pertanyaan mengenai Tuhan.

Ilmu Pengetahuan Modern

Manusia telah belajar menggunakan akalnya jauh melampaui wilayah yang luas. Namun, apakah manusia hanya hidup dengan akalnya saja?


  • Ini berlaku benar secara prinsip dan menurut sejarah bahwa penting bagi manusia, dipengaruhi oleh keraguan, untuk belajar memanfaatkan akalnya dengan lebih baik, dengan dipimpin oleh ilmu pengetahuan untuk menyelidiki alam dan hukum-hukumnya tanpa prasangka, sebagaimana pada akhirnya mampu menyelidiki dirinya sendiri dan kondisi sosiologis dalam semua aspeknya.

  • Walaupun rationalitas yang otonom dan pengetahuan ilmiah dibenarkan dalam prinsip dan untuk keperluan sejarah, demi keseluruhan eksistensi manusia dan pencerahan yang asli, rationalitas tidak seharusnya diposisikan sebagai yang absolut. Sebagai tambahan kepada akal, kita juga perlu menyertakan keinginan dan perasaan, imajinasi dan tempramen, emosi dan gairah, yang mana tidak bisa secara sederhana direduksi kepada akal saja: dengan kata lain selain ditambahkan cara berpikir metodik-rasional (l’esprit de geometrie), juga perlu kepandaian intuitif-total, pikiran sehat, dan perasaan (l’esprit de finesse).

Ilmu pengetahuan modern yang ideal terdiri dari metode yang memadai, jelas, saksama: yaitu, pada akhirnya, memodelkan secara matematis suatu masalah. Masalahnya, dapatkah semua dimensi kemanusiaan dibangun dengan cara ini?


  • Bagi penyelidikan ilmiah pada semua bidang, diperlukan metode yang aman, netral, dan memadai, bekerja sesuai dengan hukum-hukum alam. Demi penerapan metode ini, kriteria seperti kejelasan dan pembagian (distinctness), ketelitian, kemanjuran dan objektifitas adalah penting. Di dunia dimana sesuatu dapat diukur dan dapat dihitung, semangat geometri, objektivitas, tak memihak dan kemerdekaan dari berbagai nilai harus dijaga. Masalah harus dimodelkan secara matematis, dapat dihitung, dan diformalisasi sebisa mungkin.

  • Walaupun pemahaman ideal matematik-ilmiah seperti kejelasan dan pembedaan, ketelitian, kemanjuran dan objektivitas, bagaimanapun, kita tidak seharusnya memperluas jangkauannya – seperti jika ia memiliki sejumlah klaim eksklusif – ke wilayah pikiran manusia secara keseluruhan, yang mana dalam faktanya melebihi pemahaman matematika. Memodelkan secara matematik, secara terhitung dan secara formal tidaklah mencukupi untuk mendapatkan pemahaman mengenai dunia kualitatif dan berbagai fenomena manusia seperti tersenyum, humor, musik, seni, penderitaan, cinta, iman, dalam keseluruhan dimensinya. Apa yang sebenarnya diukur tidak dapat dikenali bersama dengan fenomena yang sedang dipertimbangkan. Hal ini tak cukup satu saja – [yaitu] rasionalitas matematik-ilmiah. Bahkan dalam ilmu pengetahuan, terdapat banyak metode dan bukan hanya satu: penggunaan metode tergantung pada beberapa set fakta dari masalah yang ada. Objektivitas, tidak memihak, dan kemerdekaan dari berbagai nilai akan memiliki makna bagi ilmu pengetahuan hanya jika kita tetap menyadari keseluruhan referensi sistem dan kepentingan dibalik pencarian pengetahuan, dan berbagai asumsi yang menyusun metode, hasil-hasil praktis dan tanggungjawab personal dan sosial. Metode dan ilmu pengetahuan tidak seharusnya menjadi tujuan akhir melainkan sebagai jalan untuk memanusiakan manusia.

Selama tidak menjadi sebuah ideologi, teori pengetahuan dapat menjadi penolong bagi filosofi dan teologi sejauh hal ini berhubungan dengan wilayah ilmu pengetahuan. Kritik, oleh karena itu, harus diterima, tapi tidak untuk meruntuhkan.


  • Hal ini sah untuk membangun logika formal yang murni, analisa bahasa, dan sebuah teori pengetahuan bersamaan dengan mempertanyakan mengenai verifikasi atau kekeliruan dari proposisi empiris. Ini akan berguna bagi filosofi dan teologi hanya jika mereka menggunakan prinsip logika, analisis bahasa dan teori pengetahuan saat berusaha untuk memformulasikan masalah mereka agar terhindar dari pengertian ganda sebisa mungkin, agar mendapatkan pemahaman yang jernih dari prosedur spesifik yang dipakai, agar dapat memberikan konsep yang lebih mendekati, agar dapat menggunakan bahasa ilmiah yang tepat dan agar dapat memeriksa secara kritis berbagai usaha untuk menemukan solusi. Dalam pengertian ini, teologi, juga, jika mengklaim dirinya ilmiah, harus melakukannya secara rasional, yaitu melakukan secara kritis dan dalam semangat tanggungjawab intelektual.

  • Logika formal, analisa bahasa dan teori pengetahuan, tidaklah – lebih dari teologi – dibuat kedalam satu bentuk utuh ilmu pengetahuan dengan klaim universal. Masalah verifikasi atau kekeliruan pernyataan harus dilihat dalam keseluruhan konteks sejarah, masyarakat dan hermeneutic mereka. Ini tidaklah menolong bagi teologi dan filosofi untuk dipecahkan kedalam logika, analisa bahasa dan teori pengetahuan, untuk menjadi terlalu diserap kedalam pertanyaan mengenai metode sebagaimana tidaklah pernah menolong untuk menangkap rupa dari “materi” mereka dan melihat tujuan tunggal mereka dalam pandangan kritis desktruktif secara rasional. Teologi, juga, mengembankan tanggungjawab intelektual sebagaimana ilmu pengetahuan hanya jika – tambahan pula kepada fungsi kritik – ia menerima juga fungsi rational dan fungsi sebagai pihak yang dapat diuji kebenarannya.

Hubungan teologi kepada ilmu pengetahuan alam.

Ilmu pengetahuan alam berusaha untuk mengembangkan pengetahuan mereka dengan merujuk kepada kepastian matematika. Apakah tidak ada batasan bagi ilmu pengetahuan alam?


  • Riset pasti (exact), mulai dari fisika atom sampai astrofisika, mulai dari mikrobiologi sampai genetika dan kedokteran, dapat diikuti sampai kepada titik dimana kemungkinan terbesar kepastian matematika dicapai. Ilmu pengetahuan berdasarkan matematika, kemudian, memiliki pembenaran yang lengkap, otonominya sendiri dan hukum-hukum yang inherent, yang mana tak satu teolog atau orang beragama pun yang boleh mempermasalahkannya dengan cara menariknya ke otoritas yang lebih besar (misalnya, Tuhan, kitab Suci, Organisasi Keagamaan, pemimpin agama, dsb). Melawan berbagai rupa perlakuan oleh teologi dan Gereja, harus ditekankan bahwa pemisahan antara pernyataan matematik-ilmiah dan metafisik-teologis adalah benar dan dibutuhkan.

  • Jika pertanyaan-pertanyaan ilmu pengetahuan alam – dengan benar – diperlakukan menurut metode dan gaya ilmu pengetahuan alam, maka – di lain pihak – pertanyaan mengenai jiwa manusia dan masyarakat, pertanyaan mengenai hukum, politik, sejarah, pertanyaan mengenai estetika, moral dan agama juga harus diperlakukan menurut metode yang berkaitan dengan objek-objek tersebut dan menurut gaya mereka sendiri. Tak menjadi soal seberapa benarnya kita menekankan otonomi dan hukum-hukum inherent dari ilmu pengetahuan alam, masalah-masalah yang mendasarinya tidak akan lewat melalui kesunyian, karakter-karakter rekaan (hypothetical) dari hukum-hukumnya tidak akan diabaikan, dan kesimpulan-kesimpulannya tidak akan dipandang sebagai yang absolut: bersamaan dengan kemungkinan dari ilmu pengetahuan alam, keterbatasannya juga harus perlu diperhatikan. Sebagaimana melawan berbagai rupa perlakuan oleh matematika dan ilmu pengetahuan alam, harus perlu juga diamati bahwa tidak ada kriteria matematik-ilmiah dalam terang dimana pernyataan metafisik-teologis dapat digambarkan sebagai tak bermakna (atau masalah-semu).

Ilmu pengetahuan alam sebagai fondasi? Ya, jika ilmu pengetahuan alam tidak dibuat menjadi segala-galanya.


  • Ilmu pengetahuan adalah benar untuk menjadi fondasi bagi teknologi modern dan industri dan sungguh bagi cara pandang dunia modern, bagi peradaban modern dan budaya secara keseluruhan.

  • Namun, ilmu pengetahuan alam adalah sebuah fondasi yang cocok bagi cara pandang dunia modern, peradaban modern dan budaya hanya jika fondasi ini tidak dipakai untuk membuat keseluruhan struktur; hanya jika relativitas, karakter sementara dan kemungkinan social dari setiap cara pandang dunia, dari semua proyek, pola, dan aspek, terlihat; jika, dan lagi kepada metode ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan yang lainnya seperti ilmu sosial dan kemanusiaan, dan juga filosofi, bahkan teologi –sekali lagi dalam cara yang berbeda – diperbolehkan untuk dianggap. Ilmu pengetahuan apa saja yang mengklaim dirinya sebagai yang absolut memosisikan dirinya kedalam masalah.

Ini adalah pertanyaan mengenai kebenaran. Siapa yang secara definif memilikinya?



  • Ilmuwan alam juga mengenali kini bahwa mereka tidak memiliki kebenaran final dan definitive untuk ditawarkan: mereka bersiap-siap untuk merevisi bentuk-bentuk pijakan yang dipakai bahkan akan menggantikannya jika kesempatan itu muncul.

  • Teolog juga, bercita-cita tinggi kepada kebenaran definitive, tidak memilikinya secara definitive. Mereka juga harus selalu mencari lagi secara konstan kebenaran, mereka hanya dapat mendekati kebenaran, belajar melalui “trial and error” dan demikian pula harus mempersiapkan diri untuk merevisi pijakan mereka. Di teologi, juga, saling mempengaruhi secara ilmiah antara proyek, kritisisme, kontra-kritisisme dan pengembangan harus dimungkinkan.

Namun, bukankah istilah ilmu pengetahuan (science) sendiri adalah membingungkan? Jika teologi ingin menjadi ilmu pengetahuan, apakah yang akan menjadi konsekuensinya?


  • Definisi istilah seperti “science”, “philosophy”, “metaphysics”, sebagian besar berdasarkan pada persetujuan (perjanjian, tradisi). Istilah “science” – sebagaimana dalam bahasa Inggris – barangkali sebagian besar dibatasi untuk pernyataan yang bersifat matematik-logis dan juga kepada berbagai bidang ilmu pengetahuan alam.

  • Oleh karena definisi dari “science”, “philosophy”, “metaphysics”, sebagian besar merupakan persetujuan, karakter tradisional,[maka] istilah “science” boleh juga digunakan bagi pernyataan yang bersifat non-matematik dan pernyataan yang berlainan dari berbagai bidang ilmu pengetahuan alam: yaitu bagi pernyataan meta-empirik-teologis. Jika, bagaimanapun, teologi mengklaim diri sebagai ilmu pengetahuan (science) atau disiplin akademik, maka ia harus menerima prinsip-prinsip ilmiah tertentu dari pembentukan konsep dan pembuatan substansi.

Ilmu pengetahuan dan pertanyaan mengenai Tuhan

Mungkinkan ilmu pengetahuan modern meninggalkan Tuhan?


  • Jika ilmu pengetahuan modern ingin bekerja dengan metode yang tanpa cacat cela, sangat penting agar ilmu pengetahuan modern meninggalkan Tuhan, karena Dia tidak bisa diverifikasi dan dianalisa secara empiris seperti objek-objek yang lain.

  • Tepat sekali, karena subjek dan objek, metode dan tujuan dari ilmu pengetahuan secara dekat saling jalin-menjalin, maka pembedaan harus dibuat antara fenomena yang dapat ditangkap oleh ilmu pengetahuan alam dan realitas itu sendiri. Tidak ada metode (atau proyek, pola, teori), bagaimanapun juga yang aman, memadai, pasti, yang dapat diposisikan sebagai yang absolut; faktanya, sudut pandang dan variabilitas dari metode matematik-ilmiah menekankan kesadaran konstan dari keterbatasan mereka, khususnya dalam penghormatan kepada realitas total yang lebih besar.

Pemisahan antara teologi dan ilmu pengetahuan alam telah membawa malapetaka. Kritik-diri pada bagian dari teologi dan institusi agama sungguh diperlukan. Dapatkah pertanyaan, teristimewa sekali, pertanyaan seperti realitas ultimat (tertinggi) dan realitas sebagai suatu keutuhan sama sekali harus dibuang?


  • Dalam terang keyakinan alkitabiah, pada prinsipnya tidaklah diperlukan bagi teologi Kristen dan Gereja untuk menentang dari awal mula sampai pada penemuan kebangkitan ilmu pengetahuan alam. Sangat memungkinkan dari tahap awal untuk membedakan antara cara pandang alkitabiah mengenai dunia dan pesan alkitabiah itu sendiri, sebaimana hasil yang diperoleh oleh ilmu pengetahuan alam dan para ilmuwan sendiri ajukan.

  • Jika ilmu pengetahuan alam ingin terbukti setia kepada metodenya, ilmu pengetahuan alam tidak seharusnya memperluas penilaiannya jauh melampaui horizon pengalaman: bukan karena sikap sombong, tidak tertarik yang skeptis terhadap pengetahuan atau bukan pula karena mengklaim diri mengetahui dengan lebih baik segala sesuatu. Kemungkinan yang mengatasi segalanya, yang utama secara absolut dan realitas tertinggi, yang mana kita sebut sebagai Tuhan dan yang mana – tidak diketahui dan tidak mungkin dianalisa – tidak dapat dimanipulasi, harus dibuang secara metodik dari perhatian ilmu pengetahuan alam. Meskipun begitu, dengan merujuk kepada realitas secara seutuhnya dan kepada manusia itu sendiri, pertanyaan mengenai yang tertinggi dan makna utama dan mengenai standar, nilai dan norma, dan demikian juga yang ultimat dan realitas utama, tidak dapat secara a priori (berdasarkan teori) ditolak. Pikiran terbuka terhadap realitas sebagai satu kesatuan pada prinsipnya sangat diperlukan sebagai bagian dari diri ilmuwan alam. Filsuf ilmu pengetahuan juga dan ahli epistemologi masa kini mengenali melampaui ilmu pengetahuan alam kepada wilayah yang lebih luas lagi, yaitu pertanyaan “meta-fisik” mengenai “pertanyaan mengenai masalah kehidupan” (Wittgenstein), mengenai “kosmologi” (Popper), mengenai “dunia” (Kuhn).

Apakah perkembangan kepada ateisme modern diperlukan? Bukankah teologi dan ilmu pengetahuan alam telah melampaui batasan mereka?


  • Menurut gagasan ilmuwan alam abad enambelas dan tujuhbelas, teologi Kristen dan Gereja seharusnya menjadi rekan dari ilmu pengetahuan yang baru ini; namun, karena kegagalan mereka untuk merealisasikannya dan kegagalan mereka untuk menerima filosofi baru dan perkembangan sosio-politik, mereka secara substansial menyumbang kepada lahirnya baik ilmu pengetahuan dan politik yang bersifat ateisme: yang pada abad delapanbelas dipicu oleh segelintir individu, pada abad sembilanbelas dipicu oleh sekelompok besar orang-orang terdidik, dan pada abad duapuluh bahkan diantara sekelompok besar masyarakat baik di Timur maupun di Barat.

  • Disini, bagaimanapun juga, pada prinsipnya tidak diperlukan bagi akal yang mandiri, bagi ilmu pengetahuan alam modern, untuk semakin mengembangkan kesimpulan mereka secara general agar tidak memberikan ruang untuk keyakinan kepada Tuhan dan mempraktekkan secara besar-besaran untuk menggantikan keyakinan kepada Tuhan menjadi keyakinan kepada ilmu pengetahuan. Tuhan menurut alkitab tidak identik dengan Tuhan menurut pandangan dunia kuno atau Tuhan menurut filsafat Yunani.

Jadi kesimpulannya adalah: Untuk apakah gerangan permohonan kita ini? Kita sedang memohon bersama-sama dengan Descartes dan para pengikutnya yang memutuskan agar kritis secara rasional, namun juga bersama Pascal dan para pengikutnya yang memutuskan untuk melawan segala bentuk rasionalisme ideologis. Oleh karena itu, gagasan mengenai kritis secara rasional harus diterima seluruhnya; tetapi ideologi mengenai rasionalisme kritis, membuat faktor rasional menjadi absolut dan mistis, harus ditolak. Ideologi dimengerti disini secara kritis sebagai sebuah sistem dari sekumpulan “gagasan”, konsep dan pendirian,dari sekelompok bentuk interpretatif, motif dan norma bertindak, yang mana – kebanyakan diatur oleh kepentingan-kepentingan tertentu – yang menghasilkan gambaran terdistorsi mengenai realitas dunia, menyamarkan pelecehan yang nyata dan menggantikan argumen rasional dengan daya tarik emosional. Ideologi rasionalistik ditandai dengan dogmatisme rasionalistik dan intoleran rasionalistik.

Sumber

Kung, Hans. “Does God Exist, An Answer for Today”. 1980. Doubleday and Company, Inc. Garden City, New York. Section III: Against rationalism for rationality. Page: 115 - 124

Diterjemahkan oleh: Illuminatoz

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun