Lagi-lagi, pengeras suara di tangan pejabat ini bunyinya bukan penjelasan, melainkan percikan api. Baru-baru ini, publik dibuat geregetan oleh pernyataan Menteri Agama Nasaruddin Umar yang dinilai merendahkan martabat guru. Bukan permintaan maaf yang pertama, dan pasti bukan yang terakhir.
Dulu, blunder pejabat hanya jadi bisik-bisik di warung kopi. Kini, di era medsos, setiap salah ucap adalah bahan bakar yang disiram ke linimasa.Â
Gaungnya berlipat ganda. Namun, sepertinya para pejabat kita masih menganggap mikrofon seperti pajangan bukan senjata berbahaya.
Akar masalahnya mungkin sederhana, mereka salah paham. Public speaking bukan sekadar formalitas atau bakat bawaan. Itu adalah seni menata kata, rasa, dan nalar. Itu adalah wajah nyata dari sebuah kebijakan.Â
Sayangnya, yang sering tampak justru wajah yang masam, ceroboh, atau yang paling parah merasa paling benar. Komunikasi yang gagal adalah cerminan kebijakan yang gagal.Â
Percuma program hebat jika cara menjualnya membuat rakyat sakit hati. Kepercayaan publik bukanlah barang dagangan. Ia mudah pecah.
Apa mereka benar-benar tidak sadar? Atau jangan-jangan, di balik meja kerja yang megah, para pejabat ini lupa bahwa rakyat bukanlah angka statistik yang bisu?Â
Rakyat kini mendengar setiap diksi. Mencatat setiap nada.Â
Mungkin sudah waktunya untuk rendah hati. Mengakui bahwa membutuhkan speech writer bukan aib.Â
Bahwa belajar public speaking kepada ahli itu perlu. Justru yang aneh adalah mengurus negara dengan senjata "Modal pede aja cukup".