Sengketa hukum pemilu merupakan perselisihan antara peserta pemilu baik itu ditingkatkan kabupaten hingga nasional terhadap putusan yg dikeluarkan oleh badan badan pengembangan pemilu, terdapat 2 lembaga yang berugas melaksanakan tugas penyelesaian sengketa yaitu badan pengawas pemilu (Bawaslu) dan pengadilan tata usaha negara (PTUN). Secara normatif ketika putusan Bawaslu tidak diterima seorang penggugat dapat mengajukan upayah hukum ke PTUN, dengan kata lain. Pengajuan permohonan kepada PTUN bisa diterima jika upaya pengajuan secara administratif kepada Bawaslu telah dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan pemilu ada beberapa potensi yang dapat menjadikan pemilu terdapat sebuah sengketa pada beberapa tahapan pencalonan, diantaranya:
1. Â Tahapan pemutakhiran daftar pemilih
2. Pendaftaran calon
3. Tahanan kampanye
4. Masa tenang
5. Pemungutan dan penghitungan suara
6. Penetapan hasil pemilu
Dalam alurnya setiap prosesi pemilu bisa saja terdapat sengket dari awal hingga akhir selama masih ada orang yang merasa dirugikan dalam prosesnya.
Potensi sengketa biasanya dapat dipelajari pada saat ferivikasi pendaftaran calon yang kedua adalah syarat jumlah dan persebaran dukungan untuk partai politik baru dan partai politik yang tidak memenuhi ambang batas parlemen. Yang ketiga merupakan pada saat syarat jumlah dukungan dan persebaran bakal pasangan calon perorangan di pilkada. Kalau seandainya dari pihak calon dirasa sudah lengkap namun di KPU belum lengkap bisa timbul sengketa antara pihak peserta pemilu dengan penyelenggaraan pemilu dalam hal hal terkait.
Dalam upaya penyelesaian sengketa ada beberap tahapan yang bisa dilakukan oleh pihak yang bersengketa diantaranya adalah mediasi dan ajudikasi dengan ambang batas waktu selama 12 hari, adapun permohonan pengajuan paling lambat 3 hari sesudah diberikan nya surat keputusan ataupun ketetapan oleh pihak KPU.