**
Sore itu, pemandangan langit masih kesukaan adik lelakiku, Rana. Warna kuning segar jeruk nipis. Asap rokok tidak kalah banyaknya dari gumpalan asap pabrik itu. Juga, pikiran yang semakin rumit menghantui otak yang isinya kosong sekalipun! Â
Ya! Â Wanita itu masih menjadi momok yang siap menggentayanginya dalam hidupnya.Â
"Saya tahu sendiri mas, ketika wanita benar-benar menghidupkanmu dalam dirinya, kemudian engkau meninggalkannya, jangan harap kau bisa lari dalam kematiannya sekalipun". Sosok gadis imut tiba-tiba menafsirkan tiap apa yang ada dalam pikiran Fatih .Â
"Kenapa begitu yakin, dik? "
Dengan tatapan sinis-antusias, Fatih melemparkan pertanyaan itu kembali.Â
"Terkadang, perkara melepaskan sesuatu bukanlah perkara mudah bagi sebagian orang, apalagi orang itu begitu perasa dan penyayang". Jawab Utari.
**
Lelaki itu kembali dengan pemikirannya semula. Dengan banyak fantasi yang sukar untuk tertuangkan, dan dengan diam dan senyum ia menghentikan percakapannya.Â
**
Bagi dirinya, yang, membayangkan wanitanya seperti sebuah lagu romantis: ia lembut di perasaan, menenangkan jiwa, dan membuat raga bahagia. Jelaslah sudah, dengan sendirinya ia tersenyum lebar ketika mengingat wanitanya. Namun ketika kadar intensitas kemunculan pikiran itu tak terbendung, Fatih pun kewalahan kemudian menenangkan diri diatas jembatan sungai, sembari bercengkrama dengan alam.
**
Bersambung.. .