Mohon tunggu...
ilham khalid faqih
ilham khalid faqih Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya ilham khalid faqih Mahasiswa UIN jakarta lahir tahun 2006. Sekarang masih menempuh pendidikan S1

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Meluruskan Kesalahpahaman Dakwah Radikal di Media Sosial

17 April 2025   09:06 Diperbarui: 17 April 2025   09:06 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Secara bahasa, kata "dakwah" berasal dari bahasa Arab dalam bentuk masdar, yang dalam bahasa Indonesia bisa dimaknai sebagai ajakan, seruan, pembelaan terhadap suatu hal, atau permohonan doa. Dalam pengertiannya, dakwah selalu melibatkan manusia---baik sebagai subjek yang menyampaikan (dai), maupun objek yang menerima (mad'u).

Jika dilihat dari pelaksanaannya, dakwah merupakan aktivitas besar yang sudah ada sejak manusia diberi amanah sebagai khalifah di muka bumi. Seiring perkembangan zaman, dakwah pun turut memanfaatkan berbagai media sebagai sarana penyampaian pesan, mulai dari media tradisional hingga platform digital modern.

Dalam kajian ilmu dakwah, isi pesan yang disampaikan sangat beragam. Bisa berupa ayat-ayat al-Qur'an, hadits Nabi Muhammad SAW, pendapat sahabat, hasil ijtihad para ulama, temuan ilmiah, kisah inspiratif, berita aktual, hingga karya seni dan sastra. Sementara itu, metode penyampaiannya pun beragam: bisa melalui pendekatan bijak (al-Hikmah), nasihat yang baik (al-Mau'idzah al-Hasanah), dan dialog yang santun (Mujadalah bi al-Lati Hiya Ahsan). Ada juga bentuk pendekatan lain yang lebih praktis, seperti ceramah, diskusi, konseling, tulisan, pemberdayaan masyarakat, hingga melalui lembaga.

Melihat dari definisi dan cakupan dakwah tersebut, frasa "dakwah radikal" sejatinya adalah kontradiksi. Secara etimologis, "radikal" mengandung makna ekstrem, keluar dari jalur moderasi, dan cenderung menafikan pendapat lain. Dalam istilah, istilah ini juga merujuk pada pemahaman yang sempit dan literal terhadap teks agama, tanpa melihat konteks dan tujuan syariat secara menyeluruh. Maka, dakwah sejatinya tidak bisa bersanding dengan paham radikal karena esensi dakwah adalah menyeru pada kebaikan, bukan menghakimi atau menyebar ketakutan.

Namun, dalam praktiknya, istilah "dakwah radikal" kerap digunakan sebagai lawan dari "dakwah damai" atau "dakwah moderat." Secara struktural, istilah ini bisa disandingkan dengan "dakwah online," tetapi dari sisi substansi sangat bertentangan dengan nilai-nilai dakwah itu sendiri. Fenomena ini muncul sebagai bentuk kegelisahan terhadap berbagai persoalan sosial, ekonomi, hukum, dan keadilan, yang kemudian diekspresikan melalui narasi-narasi agama secara parsial.

John L. Esposito mengkritik fenomena ini dengan menyebut bahwa kelompok radikal menggunakan ajaran Islam secara sepihak demi kepentingan tertentu. Mereka menjadikan figur sejarah Islam, terutama Nabi Muhammad SAW, sebagai pembenaran atas tindakan dan ideologi mereka, yang sebenarnya menyimpang dari esensi ajaran Islam itu sendiri.

Tulisan ini tidak bertujuan melakukan analisis wacana kritis terhadap konten dakwah radikal di media sosial dengan pendekatan teori hirarki pengaruh dari Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese. Teori tersebut menjelaskan bahwa isi media, termasuk dakwah radikal, dipengaruhi oleh tekanan dari berbagai level: individu, institusi, bahkan ideologi. Namun, yang ingin ditegaskan dalam tulisan ini adalah peringatan dari Bernard Lewis yang menyatakan bahwa kelompok radikal selalu merasa paling benar dan mewakili ajaran Islam yang paling otentik, meskipun bertentangan dengan arus utama umat Islam.

Justru karena klaim kebenaran sepihak inilah penting bagi para dai dan aktivis Islam untuk menghadirkan alternatif narasi di media sosial---yakni dakwah yang damai, moderat, dan menjunjung tinggi akhlak mulia. Dalam konteks ini, publik sebagai pengguna media sosial memiliki peran penting untuk memilih dan menentukan konten yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin.

Dengan merujuk pada teori jarum hipodermik dari David K. Berlo, dakwah radikal ibarat peluru yang langsung menembus pikiran masyarakat. Oleh karena itu, harus ada "peluru balik" berupa konten dakwah yang sejuk dan mencerahkan. Di saat yang sama, teori uses and gratifications mengingatkan bahwa pengguna media sosial bersifat aktif dan selektif---mereka akan memilih konten yang sesuai dengan kebutuhan spiritual dan sosial mereka. Artinya, jika konten dakwah yang baik dan moderat tersedia secara luas, maka narasi radikal akan kehilangan tempat.

Akhirnya, perlu dipertanyakan ulang: apakah para pelaku dakwah radikal di media sosial benar-benar menerima pandangan mainstream dari lembaga-lembaga seperti Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah? Kemungkinan besar tidak. Karena itu, perlu adanya pelurusan pemahaman mereka terkait isu-isu seperti khilafah, takfir, jihad, dan hakimiyah yang kerap digunakan untuk mendukung gagasan ekstrem di media sosial.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun