Mohon tunggu...
Ilham Nurwansah
Ilham Nurwansah Mohon Tunggu... Editor - Pegiat baca-tulis

Tulisan-tulisan lainnya dapat disimak melalui blog http://inurwansah.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jejak Musik Bambu dalam Sastra Sunda Kuno

17 Desember 2017   13:43 Diperbarui: 18 Desember 2017   12:57 3149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Angklung, salah satu alat musik Sunda berusia tua. (Foto Angklung di Bandung, 1910-1930, Tropenmuseum)

Baik pada teks SD maupun pada KP, calintuh disebutkan ditempatkan di anjung. Menurut arti dalam bahasa Sunda sekarang, anjung digunakan untuk menyebut bangunan sederhana untuk menunggu di huma, biasanya memiliki ukuran agak tinggi. Disebut juga sebagai saung ranggon.

Instrumen gobeng tidak ditemukan keterangan bentuknya. Pada teks SD dan KP terdapat petunjuk tempat pemasangannya, yaitu di réngkéng atau di réksa. Bila melihat kebiasaan memasangkan calintu dan kolécér di wilayah Kanékés (Baduy), besar kemungkinan yang dimaksud dengan gobéng dalam teks Sunda kuno yaitu kolécér. Begitu pula dalam keterangan dari Edi S. Ekadjati dalam buku Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran(Pustaka Jaya, 2014).

Instrumen lainnya yang disebutkan dalam teks Sunda kuno yaitu kumbang. Pada teks KP teracatat ungkapan "sada kumbang ta di ranjang". Artinya instrumen ini dimainkan di atas ranjang, di dalam sebuah ruangan. Nama kumbang sebagai instrumen musik masih dikenali di Kanékés hingga sekarang. Bentuknya berupa suling dari dua buku bambu tamiang atau buluh, dengan dua lubang. Dimainkan dengan cara ditiup pada posisi transversal seperti bangsing.

Pada teks SD, kumbang disebutkan dimainkan berbarengan dengan instrumen tarawangsa, "sada kumbang tarawangsa ngeuik," sedangkan dalam teks Sanghyang Siksa kandang Karesian terdapat keterangan bahwa orang yang memainkan (atau membuat) kumbang sebagai salah seorang yang perbuatannya baik sebagai teladan, setingkat dengan mantri, bayangkara, juru lukis, pangalasan dan lain-lainnya. Ungkapannya sebagai berikut:

"deung maka ilik-ilik dina turutaneun: mantri gusti kaasa-asa, bayangkara nu marek, pangalasan, juru lukis, pandé dang, pandé mas, pandé gelang, pandé wesi, guru widang, medu, wayang, kumbang gending, tapukan, banyolan, pahuma, panyadap, panyawah, panyapu, béla mati, juru moha, barat katiga, pajurit, pamanah, pam(a)rang, pangurang dasa calagara, raré angon, pacéléngan, pakotokan, palika, preteuleum, sing sawatek guna, Aya ma satya di guna di kahulunan. éta kéhna turutaneun kéna ta ngawakan tapa di nagara."

Terakhir yaitu instrumen roél. Dalam teks Sri Ajnyana, instrumen roél muncul dalam kalimat yang menggambarkan dengungan berbagai jenis kumbang seperti bangbara, nyiruan, teuweul, sireupeun dan olan-olan yang berada di kahiyangan. Suara dengungan kumbang-kumbang itu "kapisigul kapibarung, kapicéngcéng kapiroél, nu bécét kapisaréngséng," 'bagai menabuh berbagai instrumen konser, seperti goong kecil dan angklung, yang kecil seperti sarngsng (Noorduyn & Teeuw, 2009).

Roél saat ini dikenali sebagai salah satu sebutan dalam instrumen kelompok angklung. Dalam angklung buhun Kanékés dan angklung Badéng, Garut, roél dipakai untuk menyebut angklung berukuran kecil dengan suara tinggi. Dalam pertunjukan angklung Badéng, roél yang dipegang oleh "dalang", memiliki peran sebagai pengatur berlangsungnya penampilan lagu. Dalam akhir permainan, roél dibunyikan agak lama (dikeleterkeun).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun