Mohon tunggu...
Ilham Moehammad
Ilham Moehammad Mohon Tunggu... -

mahasiswa jurusan fisika Universitas Negeri Makassar (UNM). Menyukai menulis dan ingin salalu menulis. blog: http://www.ilham-moehammad.blogspot.com, http://www.facebook.com/ilham moehammad,http://www.twitter.com/ilhamarsyam.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Siswa di Tengah Egoisme dan Proyek

28 April 2012   17:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:59 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(catatan terhadap ujian nasional)

UN telah melahirkan kesedihan dan kegembiraan yang berlebihan (int) Terlalu banyak anak didik kita telah diperlalukan sebagai pihak yang tak penting karena mereka tidak berhasil dalam dunia akademis. Anak-anak itu (yang tidak lulus) dianggap tidak mampu memasuki percakapan intelektual yang didefinisikan orang-orang yang memilki posisi dalam kendali akademis (Richard Pring,1995). *** Ketidaklulusan adalah aib. Itulah yang tertanam baik bagi anak didik, keluarga maupun institusi sekolah. Akibatnya, kerap kita menjumpai seorang siswa nekat merusak sekolah atau lebih fatal, bunuh diri karena gagal dalam Ujan Nasional (UN). Seketika, persoalan UN berkembang menjadi persoalan nyawa. Maka tak heran rasanya jika sebelum UN berbagai ritual dilakukan oleh para siswa. Doa dan Zikir bersama hingga mandi kembang tengah malam. Kita prihatin sekaligus cemas, apakah pemandangan ini akan berlanjut tiap tahunnya? Egoisme pemerintah Indikator kelulusan dengan beberapa mata pelajaran yang di UN-kan menunjukkan kelatahan akan esensi pendidikan. Prof Yong Zhao dari Michan State University, China, dalam bukunya Cathing Up Or The Leading Way sudah mengingatkan bahwa penyelengaraan ujian nasional yang hanya berdasar pada hasil ujian matematika, bahasa dan sains adalah sebuah kediktatoran. China, menurut Young Zhao,sudah meninggalkan kekelirauan itu dan mulai beralih pada proses pendidikan kreativitas. Pendidikan kreativitas ini dianggap mampu menghasilkan pemikir, ilmuwan, dan pejuang Hak Asasi Manusia (HAM). Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai salah satu orang yang pernah mengalami ketegangan pada UN, saya mafhum dengan kondisi psikologis siswa saat berhadapan dengan soal ujian. Yang ada dalam pikiran mereka adalah “lulus” dengan cara apapun, termasuk menyontek. Penalarannya sederhana, jika perbuatan sudah dilakukan banyak orang, kita cenderung menganggapnya sebagai sebuah kelaziman. Jadi, penilaian afektif (perilaku) seakan terbuang sebagai salah satu unsur pendidikan. Indonesia melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) terjebak pada angka-angka perbandingan hasil tes antarnegara. Sehingga ada ketakutan dinilai tertinggal. Alih-alih turun melakukan evaluasi, BSNP terus fokus menaikkan standar kelulusan dari 4.0, 5.0, 5.5 dan seterusnya. Hal ini berdampak hingga ke institusi sekolah. Guru, kepala sekolah hingga dinas pendidikan daerah terkadang berbuat curang untuk sekedar mendapat sanjungan dari pemerintah pusat. Padahal, kita tidak pernah tahu bagaimana nilai-nilai ujian itu diolah, terlebih jika mempertanyakan kemurniannya. Sementara berita pembocoran jawaban atau ditemukannya oknum guru yang terbukti membantu siswa pada saat ujian hampir tiap tahun terjadi di seluruh pelosok negeri. Hal ini tentu tidak baik, sebab kredibilitas guru sebagai teladan tercederai. Terlebih jika guru yang akhirnya kedapatan membantu siswa diproses secara hukum. Sejumlah persoalan nyata terjadi secara sengaja di lapangan berkaitan dengan kejujuran pelaksanaan ujian nasional. Berbagai kecurangan itu muncul seperti membiarkan siswa menyontek, koreksi jawaban siswa oleh guru sebelum lembar jawaban diperiksa hinggga yang paling umum kita dapatkan akhir-akhir ini adalah bocoran jawaban melalui layananan pesan singkat telepon seluler (baca;Joki). Anehnya hal itu terkadang dibiarkan baik oleh guru,kepala sekolah hingga pengawas. Maka kejahatan dalam UN terkesan dibenarkan secara struktural demi sebuah prestise yang semu. Ironisnya, pemerataan akses pendidikan belum kita lihat. Siswa dipelosok desa menghadapi soal yang sama dengan siswa ibukota yang fasilitasnya jauh lebih memadai. Bagaimana UN bisa fair sementara kualitas guru, fasilitas sekolah setiap daerah berbeda. Jadi asal-muasalnya saja UN sudah tidak adil dan tidak jujur. Bukannya saya tidak ingin ada standarisasi, evaluasi atau apapun namanya, hanya saja hal itu dapat dicapai manakala semua aspek-aspek pendidikan yang fundamental terpenuhi. Bagi saya angka lulus atau tidak lulus tidaklah berarti tatkala UN dilaksanakan dengan tingkat kecurangan yang tinggi. Namun, tampaknya pemerintah egois dalam hal ini. Proyek yang menggiurkan Ujian nasional selama ini memang lebih banyak menuai kritik ketimbang dipandang sebagai solusi, baik oleh praktisi, pemerhati maupun pakar pendidikan. Meski Mendiknas kerap mengatakan UN bukanlah satu-satunya penentu kelulusan, namun kenyataan di lapangan berbicara demikian. Kita tak perlu heran mengapa pemerintah tetap bersikukuh menyelenggaran UN. Jika toh tujuan UN untuk pemertaan mutu pendidikan, pemerintah mestinya memperbaiki dan meningkatkan akses, proses, biaya dan sarana pendidikan yang menurut hemat penulis jauh lebih urgen. Penyelenggaraanya yang bersifat nasional baik dari segi pengadaan soal maupun waktunya, ternyata memakan biaya yang tak sedikit. Layaknya proyek, dari pembuatan, pengawasan, distribusi soal hingga penyelenggaraan UN sendiri menelan biaya hingga miliaran rupiah. Tahun ini, pemerintah menghabiskan Rp 600 miliar rupiah (setengah triliun lebih) untuk pelaksanaan ujian nasional. Dana yang digunakan tentu berasal dari APBN. Seandainya anggaran yang besar ini dipergunakan memperbaiki gedung sekolah yang rusak, dengan asumsi perbaikan setiap sekolah Rp 1 miliar, maka bisa menutupi  600 gedung sekolah. Fantastik bukan? Di sisi lain, tak dapat dipungkiri, hajatan UN terkadang membuat segelintir oknum ketibang rezeki. Bimbingan belajar, les privat, warnet maupun buku kumpulan soal UN secara perlahan menggantikan peran guru. Siswa layaknya pasar potensial. Lagi-lagi siswa tak mampu mengelak sebagai objek komersialisasi pendidikan, sebab mereka berhadapan pada sistem yang kaku. Sistem yang seharusnya sudah dikubur dalam-dalam berikut segala kepentingan di dalamnya.(*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun