Mohon tunggu...
Muhammad Ilfan Zulfani
Muhammad Ilfan Zulfani Mohon Tunggu... Penulis - Kayanya pembelajar

Lahir dan tumbuh di Banjarmasin. Pernah tinggal di Depok.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Manuver Luar Biasa Moeldoko dan Penghancuran Demokrasi

8 Maret 2021   16:12 Diperbarui: 8 Maret 2021   16:55 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

Thomas P. Power dalam artikel yang berjudul Jokowi's Authoritarian Turn and Indonesia's Democratic Decline menyebutkan salah satu indikasi dari penurunan demokrasi di Indonesia adalah bagaimana pemerintahan Jokowi terlibat dalam pelemahan koalisi lawan politiknya atau kubu oposisi. 

Di antara contoh yang dikemukakan Power adalah diangkatnya politisi Nasdem Muhammad Prasetyo menjadi jaksa agung. Menurut pandangan Power, Kejaksaan Agung RI kemudian terlibat dalam penangkapan sejumlah anggota partai oposisi dengan tuduhan korupsi. Burhanuddin Muhtadi, sebagaimana dikutip Power, menilai penangkapan tersebut sebagai kecenderungan Jokowi untuk menggunakan aparatur negara dalam memperingatkan lawan politiknya agar tidak mengganggu kestabilan pemerintahan.

Kasus-kasus lain yang dijadikan contoh oleh Power, misalnya, penangkapan kritikus pada malam Aksi 212 dengan tuduhan makar, beralihnya dukungan Hary Tanoesoedibjo dan Tuan Guru Bajang ke kubu Jokowi setelah kasus hukum mereka diangkat, terbitnya Perppu Ormas, dan lain sebagainya.

Baru saja pada 5 Maret 2021 lalu di Kongres Luar Biasa, Moeldoko yang masih menjabat sebagai Ketua Kantor Staf Presiden (KSP) terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat yang kemudian disebut sebagai "Ketum Demokrat versi KLB". Pada pidato politiknya pasca terpilih, Moeldoko mengawalinya dengan pernyataan "dalam rangka menjaga dan membangun demokrasi di Indonesia". Masih pada pidato yang sama, menurut Moeldoko, KLB yang memilihnya sebagai ketum itu adalah konstitusional.

Pada tulisan ini saya tidak akan menanggapi pendapat Moeldoko yang menyatakan KLB tersebut sebenarnya sudah sesuai AD/ART partai, jadi saya tidak akan berbicara soal apakah KLB tersebut legal atau ilegal menurut kacamata hukum. 

Saya memilih untuk melihatnya melalui kacamata etika politik sebagai orang yang percaya bahwa masih ada keharusan etika dalam urusan kekuasaan. Etika politik ini lebih penting dari sekedar urusan legalitas mengingat tidak semua yang legal otomatis mencerminkan etika politik yang dewasa.

Menurut saya, keterlibatan Moeldoko dalam kisruh internal Partai Demokrat merupakan sikap yang tidak etis dan pada gilirannya menghancurkan demokrasi. Demokrat merupakan partai yang berada di luar pemerintahan, biasa disebut sebagai "oposisi" sekalipun mereka tidak menyatakan secara resmi istilah ini. Demokrat hanya punya satu teman yang sama-sama di luar pemerintahan yakni PKS..

Bergabungnya atau ikut campurnya Moeldoko yang merupakan orang penting di Istana ke dalam Partai Demokrat memang tidak otomatis membuat arah partai ini menjadi pendukung Jokowi. Hal tersebut hanya akan dapat kita lihat setelah Demokrat versi KLB ini menyatakan sikap-sikapnya. 

Namun, status Moeldoko sebagai Ketua KSP yang terlibat dalam kisruh Partai Demokrat merupakan indikasi besar bagaimana posisi Demokrat sebagai oposisi sedang diganggu atau terganggu. Moeldoko atau pendukungnya boleh berkilah bahwa ini bukan seperti yang dituduhkan. Akan tetapi, nalar politik harusnya secara terang benderang dapat melihat bagaimana hubungan Moeldoko sebagai Ketua KSP dan Demokrat sebagai partai oposisi. Wajar jika orang berpikir demikian.

Jika memang Moeldoko tidak berniat untuk mengganggu, harusnya Moeldoko sebagai orang dalam Istana menghormati Demokrat sebagai partai oposisi dengan tidak ikut-ikut ke dalam kisruh. Kalau KLB memutuskan Moeldoko sebagai Ketum Demokrat, Moeldoko harusnya menolak. Penolakan ini lebih karena etika politik. Moeldoko bukan kader Demokrat, ujuk-ujuk jadi Ketum merupakan hal yang "tidak tahu malu". Statusnya sebagai Ketua KSP merupakan masalah yang lebih problematik karena Demokrat adalah oposisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun