Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Patok Batas, Antara Kehidupan Bertetangga dan Konflik di Dalamnya; Sebuah Refleksi Konflik Bertetangga di Malang yang Tak Kunjung Usai

28 September 2025   18:47 Diperbarui: 29 September 2025   06:34 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. - (Dokumentasi Pribadi)

Kemarin, saya memenuhi undangan seorang rekan yang akan bekerja sama untuk urusan bisnis.

Setelah naik wira-wiri Suroboyo, saya memilih untuk berjalan kaki ke daerah Menganti, Gresik. Tidak jauh saya berjalan hingga berjumpa dengan patok batas antara wilayah Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik. Batas yang disusun ulang tahun 1960an akibat adanya perluasan wilayah Kota Surabaya yang mengambil sebagian wilayah Gresik.

Tentu, perluasan tersebut dilakukan secara legal, dengan memperhatikan berbagai hal, serta akan berdampak pada kehidupan selanjutnya. Perubahan yang harus disepakati oleh semua pihak agar tak terjadi konflik di dalamnya. Bukan hal umum, patok batas menjadi sumber masalah banyak pihak akibat tidak adanya kesadaran dalam menjaga amanah dari Tuhan. Apalagi kalau bukan hawa nafsu untuk tidak mengambil hak orang lain.

Konflik kepentingan batas wilayah menjadi konflik yang sering terjadi. Baik antar tetangga, saudara, atau pihak lain. Tak jarang, konflik tersebut berujung kekerasan atau bahkan penghilangan nyawa. Padahal, patok batas ini bisa menjadi sebuah nilai berharga bahwa kekuatan dan kekuasaan kita sebagai manusia sangatlah terbatas. Terbatas pada patok yang tidak bisa kita ubah seenak sendiri sehingga merugikan orang lain. Patok batas ini juga menjadi tanda bahwa nantinya kita akan disemayamkan dengan patok batas dan penanda bahwa hidup kita di dunia sudah selesai.

Saya membahas mengenai patok batas ini bukan tanpa sebab. Sebulan ini rasanya saya amat muak, marah, sekaligus jengkel melihat konflik soal patok batas dua warga bertetangga di Kota Malang, kota kelahiran saya. Konflik ini terjadi antara seorang mantan dosen UIN Malang dengan pemilik sebuah rental mobil. Tentu, para pembaca sudah mengetahui dari berbagai sisi soal konflik ini.

Mulanya memang, banyak netizen membela pemilik rental. Terlebih, ada potongan video yang seakan-akan sang dosen memperlihatkan (maaf) kemaluannya. Belum lagi ulah dosen yang seakan menjadi gila saat konflik berlangsung. Saya pun sempat berpikir, ini kok bisa ya orang jadi dosen apalagi menyebutnya kyai?

Namun, angin berubah beberapa waktu lalu ketika istri eks dosen tersebut mengunggah semua video dari sisinya. Ternyata, tetangga dan warga sekitarlah mempersekusi dia dan suaminya. Bahkan, ada satu video yang memperlihatkan pemilik rental tanpa izin masuk ke rumah eks dosen tersebut. Mengancam dan merusak beberapa barangnya. Secara hukum, tentu ini salah dan patut diancam pidana karena melanggar batas privasi orang tanpa izin.

Belum lagi, sederet fakta lain yang memperlihatkan bahwa sebenarnya eks dosen tersebut mewakafkan tanah di depan rumahnya untuk jalan umum yang konon malah digunakan pemilik rental sebagai parkiran mobilnya. Konflik patok batas pun semakin terbuka. Netizen kini malah mendukung eks dosen tersebut. Mereka balik menyerang pemilik rental yang konon merupakan ketua dari ormas sebuah suku di Malang. 

Saya tidak mau memperlebar konflik ini karena makin lama menjurus ke arah SARA. Saya hanya ingin mempertanyakan ke manakah pemangku kepentingan, dalam hal ini pemerintah daerah dalam menangani konflik ini. Apalagi, ada desas-desus yang mengatakan bahwa eks dosen tersebut diusir oleh RT dan RW karena membuat kegaduhan. Netizen pun semakin marah kok bisa-bisanya pemilik rumah sah malah kalah dengan pemilik kontrakan, dalam hal ini pemilik rental yang memang mengontrak rumah di sebelah rumah eks dosen tersebut.

Pemangku kepentingan, mulai dari lurah, camat, bahkan wali kota seakan diam. Lucunya, Wakil Wali Kota Surabaya, Armudji atau Cak Ji yang dikenal sebagai penengah konflik agraria yang menyuarakan masalah ini. Beliau mengatakan tidak bisa membantu eks dosen tersebut karena bukan berada di wilayah kekuasaannya. Ya iyalah, anak TK saja akan paham.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun