Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Para Penumpang Bus Kecil

13 Februari 2021   19:59 Diperbarui: 13 Februari 2021   20:06 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. - Dokumen Pribadi

Aku paling benci naik bus ini. Sungguh, sejak harus sekolah di kota kecamatan, rasanya bus ini menjadi momok bagiku yang kerap membawa segudang buku di tas. Bus kecil yang tak sanggup menampung lebih dari 20 orang ini tak ubahnya neraka kecil dengan bau penumpang yang menyesakinya.

Aku tak punya pilihan lain karena hanya bus inilah yang melewati desaku. Walau tak begitu terisolasi, nyatanya sejak bertahun-tahun tak ada peningkatan yang bisa dibanggakan. Tetap terpencil, orang-orangnya yang suka mengeluh, dan bau busuk dari peternakan ayam begitu menyengat.

"Si Maslikah ternyata ditemukan di samping jasad suaminya," kata seorang ibu paruh baya yang duduk di depanku.

Ibu itu menyerocos seputar kematian suami istri yang diduga bunuh diri di rumahnya. Meninggalkan empat orang anak dan beberapa petak kebun.

Ibu muda yang duduk di sebelahnya tak menimpali. Wajah sayunya mencoba menunggingkan senyum. Sayang, aku bisa merasakan kelesuan wajahnya dari tatapannya yang kosong.

"Jadi orang kok enggak bersyukur. Padahal si Maslikah itu kan sudah punya simpanan banyak di bank. Belum lagi sawah suaminya. Mau cari apa lagi dia", cerocos wanita paruh baya itu.

Aku tak begitu antusias mendengarkan ceritanya. Lamunanku hanyut pada makian atasanku karena ia tahu aku sudah banyak pinjam uang di pinjaman online. Entah, apa bisa aku kembali ke kota dengan banyak tagihan yang membengkak. Mereka tak hentinya menerorku tak peduli siang dan malam.

"Pal desa mas turun!" aku bergeges berteriak ketika tempat tujuanku sampai. Ini kepulangan pertamaku sejak merantau. Sebenarnya, aku sudah berniat kembali ke desa tiap bulan. Niatan itu hanya tinggal niatan lantaran jeratan hutang yang terus memperdayaku.

Selembar lima ribuan kuberikan pada kondektur yang mengambilnya dengan dingin. Tak ada ucapan terimakasih dan tatapannya juga kosong sekosong tatapan ibu muda tadi.

Langkah gontaiku menuju rumah seakan sama beratnya dengan langkah kakiku ke tempat kerja. Walau kampung halaman bagi banyak orang adalah sebuah kenyamanan, itu tak berlaku untukku.

Hanya ada adikku yang kecil di rumah. Sementara ibu masih sibuk menjajakan nasi ke tetangga. Jangan tanyakan ayah, ia sudah lama meninggalkan kami semua. Semua karena tetangga sebelah yang nekat masuk ke kehidupan kami. Entah di mana mereka sekarang aku sudah tak peduli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun