Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Ketika Diri Ini Mulai Lelah dengan Keriuhan Drama di Twitter

17 Juli 2020   08:56 Diperbarui: 18 Juli 2020   21:53 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Twitwar. - Abadkini.com

Apa sih Keasyikan Melihat Drama di Twitter?

Wah asyik banget. Rasanya bisa melampiaskan hasrat yang terpendam di dalam dada terutama jika drama itu menyangkut berbagai hal yang tak jauh dari kehidupan kita. Dunia serasa lebih berwarna dan bergembira melihat dan menikmati segala keriuhan drama tersebut.

Jujur, itu adalah jawaban saya beberapa waktu lalu. Tiada hari tanpa membuka Twitter rasanya hampa. Entah apa saja yang lagi dibicarakan seakan sebuah hal yang harus saya tahu dan saya dalami. Ini terasa lebih asyik dari sekadar membaca buku apalagi jurnal penelitian.

Namun, lama-lama kok saya jadi jengah juga ya. Seakan semua hal yang tidak terlalu penting diperdebatkan hingga ke ujung dunia. Hingga ada yang benar-benar bisa membuktikan bahwa sebuah hal hanya bisa dilihat dari satu sisi dan pasti bisa terbukti benar salahnya.

Nyatanya, ada dua hal yang saya tarik ketika saya mulai bosan dengan segala keriuhan di Twitter. Pertama, sebagai manusia, kita tidak bisa melihat sesuatu dari satu sisi saja. 

Kedua, ada keterbatasan otak manusia untuk bisa mencerna apa yang sedang terjadi dan diributkan. Kalau diikuti semua, rasanya sudah pecah kepala.

Poin pertama menjadi poin yang seringkali abai digunakan oleh banyak penghuni Twitter ketika ada sebuah isu yang cukup sensitif. Seperti maslaah memiliki anak yang ramai beberapa hari kemarin. 

Ada satu pihak yang merasa bahwa saat ini kalau memang belum siap ya jangan punya anak. Kasihan nanti anaknya menanggung beban penderitaan dari orang tua yang (maaf) miskin. Kasihan juga kalau orangtuanya toksik dan segala rupa alasannya.

Sementara, di satu sisi ya suka-suka yang punya anak lah. Yang penting ia tanggung jawab bagaimana bisa membesarkan anaknya. Saya tidak tahu siapa yang mulai dan akhirnya ada dua kubu yang sama-sama ngotot dan cukup geli juga melihat keriuah ini.

Persoalan semakin melebar karena banyak yang berdebat ternyata belum memiliki anak. Tapi, banyak juga yang berdebat dan belum punya anak pun bersikukuh ia pernah menjadi anak dan tak perlu dirisaukan. Perdebatan pun melebar ke mana-mana yang diawali dari melihat sesuatu dari satu sisi saja.

Ketika ada sub perdebatan lain yang timbul, maka akan ada sub kelompok lain yang juga memiliki pandangan yang hanya melihat satu sisi saja. Kala perdebatan topik utama dan sub topik utama tersebut belum selesai, maka timbul lagi perdebatan baru yang akhirnya entah bagaimana konklusi dari perdebatan itu.

Serius, saya jadi capai sendiri ketika lama-lama berada di Twitter. Kalau tidak sedang membagikan link tulisan atau menyapa teman yang sedang galau, bisa-bisa sekarang saya seharian meninggalkan Twitter dan beralih ke You Tube untuk melihat video kontes kecantikan.

Walau saya capai, tetapi tidak dengan banyak orang yang belum capai dan entah memiliki banyak waktu untuk bermain di Twitter. Saya tidak tahu latar belakang mereka yang jelas saya takjub saja ketika ada isu baru yang muncul dengan cepat mereka menanggapi dan membuat sub topik perdebatan baru yang tak kalah seru.

Itu belum juga termasuk adanya beberapa entah bisa disebut selebtwit atau orang yang memiliki pengikut yang banyak masuk dalam perdebatan tersebut. Bisa-bisa, isi Twitter saya penuh dengan mereka yang tidak saya ikuti tetapi di-RT atau di-Likes oleh teman yang saya ikuti.

Akhirnya, akun dari info penting semisal Kompasiana, Kompas dot com, atau akun informatif mengenai sejarah dan perkeretaapian tidak terlihat. Tertutup oleh akun-akun yang sedang memperdebatkan sesuatu yang bagi saya apa sih pentingnya.

Tak hanya saat melihat drama, saat saya berkomentar di sebuah utasan dan ternyata banyak yang merespon, lama-lama saya juga capai juga. Kadang, respon dari entah siapa tidak mengenakkan. Pernah ada utasan mengenai tipe-tipe pengunjung mall di Jakarta yang saya balas.

Karena saya seringnya ke salah satu Mall tempat konser grup yang saya gemari, otomatis saya membalas utasan tersebut dengan gambar saat melihat grup tersebut. Lantaran, mall ini adalah ikon dari grup tersebut.

Saya kira ya hanya berlalu begitu saja balasan yang saya kirimkan. Ternyata tidak. Ratusan RT, likes, dan balasan pun muncul. Banyak yang hanya sekadar bergurau dan itu tak masalah. Tetapi, ada juga yang (maaf) mengeluarkan kata-kata kotor dan seakan menyudutkan mereka yang menggemari grup tersebut. 

Tidak perlu saya sebutkan yang pasti kata-kata tersebut amat tidak pantas. Akhirnya, dari balasan satu buah gambar yang awalnya saya hanya ingin seru-seruan, menjadi suatu topik perdebatan baru yang sebenarnya tidak penting untuk diperdebatkan.

Lagi-lagi, mention dari rekan saya pun tertutup oleh beragam balasan dari penghuni Twitter yang entah dari mana datangnya. Yang jelas, saya mulai terganggu dan menyudahi aktivitas membalas utasan ramai. Lebih baik saya mengungkapkan isi kepala saya saja yang jarang menanggapi. Paling-paling teman terdekat saja.

Terakhir, saya semakin sadar bahwa di dalam Twitter ada banyak (tidak semua) yang memang ingin menunjukkan dirinya sebagai yang nomor 1. Entah dalam apa pun itu, yang pasti saya menangkap tidak boleh terkalahkan dalam hal apa pun adalah kunci. Kalau tidak jadi yang pertama, paling tidak jadi yang tercepat dan membuktikan paling unggul dari segalanya.

Bisa saja persepsi saya salah tetapi rasanya sudah capai benar melihat apa saja yang diperdebatkan di Twitter. Kedua media sosial lain, yakni FB dan IG sebenarnya sama. Tetapi, saya merasakan terpapar dalam waktu lama di Twitter benar-benar menguras energi dan emosi.

Bagaimana dengan Anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun