Bulan Desember ini menjadi bulan yang penuh dengan hajatan.
Berbagai gedung dan jalan raya menjadi venue acara pernikahan ataupun khitanan yang kerap mengundang kemacetan. Berbagai terpal dan dekorasi yang mengiringinya juga tak luput dari perhatian.
Meski demikian, ada satu hal yang kerap menjadi bahan pembicaraan para tamu yang menghadiri pesta tersebut. Tak lain dan tak bukan adalah perihal kuliner yang disajikan oleh si empunya hajatan.
Ihwal kuliner ini memang menjadi hal yang krusial. Namun, di sisi lain, banyak pula sohibul hajat yang tidak menomorsatukan makanan yang mereka sajikan kepada para tamu. Entah dengan alasan bujet yang minim atau masalah lainnya, akhirnya makanan yang telah disajikan menjadi gibahan para tamu yang datang.
Sebenarnya, saya sendiri tidak terlalu memusingkan masalah makanan hajatan ini. Yang terpenting aman bagi lambung saya dan cocok selera saya, itu sudah cukup. Saya tak terlalu mempersoalkan rasa ataupun hal lain karena bisa saja saya datang ke acara semacam ini empat kali dalam sehari.
Kadang, saking kenyangnya perut saya yang telah terisi makan banyak, hanya es ataupun makanan ringan yang saya ambil. Melewatkan makanan berat yang seakan tak ingin masuk ke perut saya.
Tapi, hal itu tidak berlaku bagi sebagian kerabat, tetangga, atau rekan saya. Beberapa diantara mereka malah membicarakan masalah makanan ini jauh lebih penting daripada suksesnya acara hajatan.
Beberapa diantara mereka bahkan memberikan kriteria bahwa suksesnya sebuah hajatan tak lepas dari lezat dan menariknya makanan yang disajikan. Mereka tidak memandang seberapa megah dekorasi ruangan ataupun cindera mata yang diberikan.Â
Makanan tetap nomor satu karena merupakan parameter utama seorang pemilik hajat menyambut tamunya.
Seiring perkembangan zaman, hampir semua hajatan telah menggunakan sistem prasmanan dalam memberikan makanan pada tamunya. Mereka memberikan keleluasaan kepada para tamu untuk bisa memilih makanan sendiri sesuai porsi dan seleranya masing-masing.
Sistem prasmanan ini telah menggantikan sistem piring terbang yang sudah ada sejak zaman dulu. Ketika para tamu hanya diberikan satu menu saja -- biasanya soto atau rawon -- dan tak ada makanan lain yang mengiringinya.
Walau memiliki kelebihan tidak banyak tenaga untuk mengantarkan makanan kepada para tamu, tetapi sistem prasmanan ini bisa menjadi bumerang tersendiri. Terlebih, bagi pemilik hajat yang cumpon (jw: bermodal sedikit).
Anggaran terhadap makanan yang terbatas membuat tak banyak pilihan makanan tersedia. Apalagi, saat tamu yang diundang banyak maka bersiaplah para tamu kehabisan makanan yang tersaji.
Seperti yang saya alami beberapa waktu lalu saat bertandang ke hajatan di Pasuruan, Jawa Timur. Sebenarnya, saya datang tak terlalu malam, sekitar jam 7 malam. Namun, kedatangan saya bertepatan dengan puncak kunjungan tamu hajatan.
Memang biasanya, waktu yang kerap dipilih oleh para tamu hajatan jika jam yang diberikan bebas adalah antara pukul 6 hingga 8 malam. Nah, berhubung saya datang pada waktu puncak tersebut, maka makanan yang tersedia di sana sudah banyak yang habis.
Akhirnya, saya hanya mengambil telur tersebut. Saya menunggu sebentar barang kali akan ada kegiatan isi ulang makanan sehingga saya bisa memilih dengan leluasa.Â
Ternyata tidak. Tak ada lagi makanan yang ditambahkan dan para tamu akhirnya memakan tahu campur yang masih banyak. Makanan yang pantang bagi saya sebagai penderita GERD.
Ya sudah, mau bagaimana lagi. Saya pun bergegas keluar dan menyalami tuan rumah sambil mengucapkan selamat. Dan pastinya, mencari makanan lagi karena saya belum makan dari siang. Ini mungkin yang sering menjadi buah bibir para tamu terutama ibu-ibu yang kerap nyinyir akan masalah ini.
Dekorasinya bagus tapi kok makanannya menyedihkan? Begitulah bunyi sindaran yang kerap terdengar.
Biasanya, kami menyewa pegawai salah satu catering yang kerap diminta untuk memasak dalam hajatan. Pegawai tersebut biasanya menjadi leader dan memberikan instruksi apa aja yang harus dilakukan oleh kami -- para sinoman (pembantu hajatan) -- terhadap makanan yang disajikan.
Ia biasanya membagi tugas siapa saja yang harus mengganti pada menu tertentu. Siapa saja yang fokus pada mengatasi piring kotor dan siapa saja yang bertugas memberesi dan menyiapkan peralatan seperti sendok dan garpu.
Sang leader tersebut biasanya memastikan tak ada makanan yang habis atau tersisa sedikit pada meja makan. Intinya, makanan harus tetap tersedia pada meja makan dengan jumlah yang cukup.Â
Sang leader telah berpengalaman memperhitungkan berapa orang yang akan datang sehingga makanan yang tersedia lebih dari cukup. Tak apa makanan berlebih daripada kurang nantinya juga dibagikan kepada tetangga sekitar atau para sinoman.
Makanya, kami kerap bersahut-sahutan meneriakkan menu makanan apa yang sudah mau menipis. Tak hanya itu, kami juga memberikan tulisan pada menu makanan yang telah habis beserta permohonan maaf. Biasanya, menu makanan pendamping seperti bakso dan gado-gado yang kerap habis.
Jika memungkinkan, kami membagi menu makanan menjadi dua meja agar tak banyak antrean tamu yang mengular. Inilah alasan tak terlalu banyak menu makanan yang tersedia asal tamu bisa mengambil dengan nyaman dan tetap mengutamakan rasa.
Jika harus ada pertunjukan musik, maka hal itu tak boleh sedikitpun membuat pergerakan tamu dalam mengambil makanan menjadi terbatas.
Kalaupun ruangan terlalu sempit, maka alangkah lebih baik jika pertunjukan itu tidak diadakan.