Di manapun kota yang saya kunjungi, saya selalu menyempatkan diri mendatangi museum.
Selain memang harga tiketnya yang murah, ada sensasi baru -- melihat langsung benda bersejarah atau koleksi unik -- yang tak saya dapatkan di kota saya. Meski demikian, bukan berarti kunjungan ke museum selalu menyenangkan.
Bisa jadi, saya tak banyak mendapatkan apa yang saya inginkan. Entah museum tersebut sedang direnovasi, tutup, hingga yang membuat saya kerap kesal adalah ulah dari pengunjung lain yang tidak memerhatikan kondisi sekitarnya. Dan tentunya, etika dan peraturan selama berada di dalam museum yang dilanggar.
Salah satu pengalaman yang kurang menyenangkan saat berkunjung ke museum saya alami ketika berada di Museum Nasional (Museum Gajah). Museum yang berada di seberang Monas ini menjadi jujugan saya lantaran dekat dengan Stasiun Gambir. Jadi, saya menunggu jam kepulangan Kereta Api Taksaka selepas perhelatan Kompasianival kemarin dengan berkunjung ke sini.
Sebenarnya, fasilitas museum ini sudah cukup lengkap. Saya, yang membawa barang bawaan banyak sangat terbantu dengan penitipan tas yang disediakan oleh pengelola museum.
Masalah baru muncul ketika banyak pengunjung yang begitu riuh ingin segera didahulukan untuk menitipkan dan mengambil tas mereka. Jumlah petugas yang hanya 2 orang serasa tidak cukup. Saya harus mengalah untuk menunggu pengunjung lain yang tidak mau mengalah tersebut.
Itu belum seberapa. Kala memasuki ruang koleksi benda-benda purbakala yang kebanyakan berasal dari zaman akhir Singasari dan Majapahit, di situlah saya mulai merasa miris. Memang, bagian ini cukup luas dan memiliki keunggulan. Jika museum lain memajang koleksinya di dalam ruangan yang gelap, maka Museum Nasional ini berbeda.
Aneka koleksi yang dimiliki museum ini justru dipajang di halaman tengah dan serambi. Alhasil, arca ataupun replikanya pun seakan memiliki aura yang lebih cerah. Sama halnya arca yang saya temukan di luar candi-candi yang saya temui. Penataan semacam ini jelas memberikan proporsi dan komposisi yang pas untuk spot fotografi.
Inilah yang menyebabkan cukup banyak pengunjung yang memanfaatkan bagian ini untuk berfoto. Dan bisa diduga, banyak pengunjung -- terutama milenial yang sudah siap dengan peralatan tempurnya untuk mendapatkan spot fotografi yang luar biasa hebatnya.
Dengan aneka pose yang coba mereka lakukan, museum serasa surga fotografi yang bisa menghasilkan efek paripurna. Nyatanya, apa yang mereka lakukan cukup mengganggu. Betapa tidak, selain cukup lama berada di salah satu spot, tidak jarang mereka juga memegang seenaknya koleksi museum yang sebenarnya dilarang.
Saya bahkan menegur mereka langsung untuk enyah dari tempat tersebut lantaran ada dua orang turis asing yang begitu ingin memotret arca Prajnaparamitha. Mereka menunggu lama beberapa pengunjung milenial yang asyik cekikikan dan terus berulang mencoba mendapatkan hasil foto yang maksimal.
Sungguh, sebagai warga lokal, saya merasa sungkan kepada turis asing tersebut. Meski mereka mengatakan "No problem" kala para penggila foto itu sudah pergi dari arca, tapi saya percaya, kesan kurang baiklah yang membekas di hati mereka.
Tangan saya refleks mengeluarkan sebuah notes kecil untuk mencatat hal-hal apa yang baru saya temui. Menurut saya hal ini wajar karena memang museum merupakan tempat untuk belajar semacam ini. Lucunya, saya kerap dipandang aneh oleh pengunjung museum lain yang lebih gemar melakukan pengambilan foto.
"Lagi ngerjakan tugas, Bang?" celetuk salah seorang pengujung sebuah museum di daerah Semarang.
Lha, gimana ini. Saya jadi heran. Namun, saya mencoba bersikap diplomatis saja. Bisa jadi, mereka merupakan tipe pengunjung museum yang berbeda dengan saya.
Jika saya lebih cenderung ke arah tipe observator, maka mereka bisa jadi tipe narsis nomer satu. Wajar-wajar saja menjadi tipe pengunjung museum ini yang penting bukan tipe memegang sembarangan. Tipe terakhir inilah yang harus diperangi lantaran sudah melanggar aturan museum.
Alangkah lebih baik, jika konten tersebut dibuat sekreatif mungkin dengan narasi yang mendalam terhadap koleksi museum sehingga para pemirsanya tertarik mengunjungi dan mempelajarinya. Lebih asyik lagi jika disisipkan pesan untuk menjaga koleksi musum dengan minimal tidak memegangnya secara langsung.
Rombongan ayah, ibu, dan anak mereka yang begitu antusias memotret, membaca, dan mendengarkan arahan petugas museum. Mengelaborasi berbagai sudut museum untuk mendapatkan sebuah pengalaman berharga. Dengan tidak menganggu kenyamanan museum lain serta tentunya menjaga koleksi museum yang ada di dalamnya.
Di akhir kunjungan, saya masih melihat turis asing yang bersua dengan saya tadi. Masih berkeliling dan memotret koleksi museum. Sementara, pengunjung museum yang bingung dengan pose media sosialnya sudah beranjak dari museum sambil bingung mencari spot foto instagramable selanjutnya.
Hmmm... baiklah. Saya berhenti sejenak melihat pertunjukan angklung saja.
Selamat menyaksikan.