Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kala Mengoreksi Ujian Siswa Hanyalah Sebuah Fatamorgana

16 November 2019   08:53 Diperbarui: 16 November 2019   12:30 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru mengoreksi ujian siswa (Ilustrasi. - https://www.teflexpress.co.uk)

Menjelang Desember, saya yakin bagi sebagian besar guru merupakan masa paling sibuk dan melelahkan.

Betapa tidak, Penilaian Akhir Semester tinggal beberapa hari lagi. Dengan waktu yang sangat mepet, tak ada cara lain selain menjejalkan materi kepada peserta didik. Terlebih, jika pembelajaran pada kelas yang diampu masih menyimpan banyak sekali tanggungan materi.

Di samping menjejalkan materi kepada peserta didik, hal yang tak kalah penting pada momen akhir November ini adalah semakin menumpuknya koreksian ujian siswa yang belum sempat dikoreksi dan dinilai.

Padahal, semester berjalan akan segera berakhir. Kegiatan ini belum termasuk melakukan analisis nilai siswa dan memasukkannya ke dalam aplikasi rapor.

Pun, dengan pengklasifikasian siswa mana saja yang harus menerima remidi ataupun pengayaan. Rasanya, tugas koreksi ini menjadi momok yang selalu berulang hadir di akhir semester. Ini belum termasuk pula nilai tugas harian atau tugas terstruktur yang kadang hanya dikumpulkan oleh siswa tapi tak bisa sedetik pun untuk disentuh.

Sebenarnya, jika dilakukan secara sistematis, segala kegiatan koreksi ini tak akan menumpuk dengan mengerikan. Terlebih, rencana kegiatan pembelajaran, baik tahunan, semester, bulanan, maupun harian sudah disusun sedari awal. Guru juga bisa memperkirakan kapan waktu yang tak bisa digunakan sebagai kegiatan pembelajaran karena adanya suatu momen peringatan tertentu.

Demikian pula format penilaian yang sudah disusun dengan rapi. Ekspektasi bisa melakukan koreksi dengan sistematis pun kerap singgah di awal tahun pelajaran.

Siswa-siswi saya sedang melihat nilai ujian yang baru saya koreksi. Belum sempat saya analisis jadi belum bisa saya bagi. (Dokumentasi pribadi)
Siswa-siswi saya sedang melihat nilai ujian yang baru saya koreksi. Belum sempat saya analisis jadi belum bisa saya bagi. (Dokumentasi pribadi)
Rencana tinggal rencana. Pada kenyataannya, saya dan banyak guru lainnya juga akhirnya terengah-engah melakukan koreksi terutama di akhir November seperti ini.

Jika pada bulan sebelumnya para guru banyak yang hadir di ruang guru selepas kegiatan pembelajaran, maka di penghabisan semester ini mereka akan bertapa di dalam kelas. Ada yang menyetel lagu nostalgia, K-POP, ataupun lagu campursari dengan kedua tangan beserta kedua mata asyik melihat lembar demi lembar kertas ataupun buku milik siswa.

Kadang, suara musik beradu seakan mengikuti gerakan tangan yang sedang mengoreksi. Kalau sudah begini, Bapak Kepala Sekolah biasanya hanya bisa berkeliling ke kelas-kelas sambil geleng-geleng kepala. Beliau sudah mafhum dengan rutinitas yang terjadi berulang ini.

Nah, meski dikejar tayang, nyatanya kegiatan koreksi ini tidak bisa sepenuhnya lancar. Ada beberapa faktor nonteknis yang membuat kegiatan ini lagi-lagi terbengkalai.

Salah satu penyebabnya, adanya beberapa wali murid yang datang ke kelas. Entah untuk menanyakan jadwal atapun berkonsultasi seputar putra-putri mereka.

Walau dikejar deadline yang menggebu-gebu, mengacuhkan mereka juga bukanlah tindakan yang pantas. Makanya, sebanyak apapun koreksian yang menumpuk di meja, jika ada wali murid yang datang, waktu dan tempat  pun sepenuhnya tercurah kepada mereka. Mendengarkan keluh kesah dan memberi saran seputar kondisi yang dialami putra-putri mereka.

Kadang, saking semangatnya diskusi yang terjadi, waktu sisa setelah siswa pulang sekolah pun habis untuk kegiatan ini. 

Saat jam menunjukkan sekitar pukul 3 sore, walau masih ada niatan untuk melanjutkan koreksian, akhirnya kegiatan inipun ditunda lagi entah sampai kapan. Bisa besok ataupun tertunda lagi jika ada kegiatan lain yang tiba-tiba saja datang.

Biar tidak tegang. (Dokumentasi pribadi)
Biar tidak tegang. (Dokumentasi pribadi)
Membawa koreksian pulang ke rumah sangat saya hindari. Selain bukan tipe saya untuk membawa pekerjaan ke rumah, saya juga pesimis pekerjaan itu juga saya selesaikan di rumah.

Mengingat, jika sudah berada di rumah, di pikiran saya hanya tinggal istirahat dan melakukan kegiatan lain. Ada guru yang bahkan berkelakar bahwa koreksian hanya bernasib dibawa dan ditenteng ke mana-mana tanpa ada keinginan untuk menyentuhnya.

Kadang, jika saya sudah benar-benar stuck untuk melakukan koreksi yang sudah harus dikerjakan, saya sampai pergi ke kafe. 

Bergabung dengan mahasiswa lain yang sedang mengerjakan skripsi, saya membawa beberapa paket soal ulangan siswa saya ke tempat itu. Sembari mendengarkan musik dan menikmati kudapan, rasanya aura yang ada sangat positif dan amat mendukung kegiatan koreksi. Walau, saya kerap dilihat aneh oleh pengunjung dengan tatapan bernada, "koreksi kok di kafe?"

Hal paling menggembirakan dalam kegiatan koreksi ini adalah jika ada mahasiswa/i Praktik Pengajaran Lapangan (PPL) yang magang di sekolah saya. 

Rasanya hati saya berbunga-bunga karena bisa memberdayakan mereka untuk kegiatan ini. Kadangkala, kegiatan koreksi ini malah digunakan oleh mereka untuk melakukan observasi pada kelas saya.

Sebaliknya, saya cukup menghindari melakukan koreksi dengan siswa saya sendiri. Jika terpaksa, mereka hanya membantu mengoreksi soal ulangan yang berbentuk pilihan ganda yang sudah pasti jawabannya.

Masalah utamanya, apalagi kalau bukan siswa-siswi saya yang masih sekolah dasar. Apalagi, saya terbiasa memberi pembetulan dengan sejelas-jelasnya pada jawaban esai yang masih salah. Tidak sekadar menyalahkan mereka agar bisa digunakan sebagai pembelajaran ke depannya.

Enggak nyambung plis. (Dokumentasi pribadi)
Enggak nyambung plis. (Dokumentasi pribadi)
Kalaupun memberdayakan mereka dengan lebih banyak, biasanya hanya saat memasukkan analisi nilai ke dalam aplikasi rapor agar lebih cepat. Itupun saya pilih siswa yang cukup cakap dan sedang tidak melakukan aktivitas, semisal menunggu eskul ataupun menunggu jemputan. Daripada mereka berlarian ke sana kemari, maka biasanya saya tanya dulu apakah mereka mau membantu saya.

Rata-rata, mereka malah sangat senang karena sekaligus bisa melihat nilai ulangan mereka. Tentu, dengan syarat agar mereka tak membocrokan dulu kepada teman-temannya.

Di sini saya merasa gagal. (Dokumentasi pribadi)
Di sini saya merasa gagal. (Dokumentasi pribadi)
Jika koreksian ulangan harian ataupun ulangan lain masih bisa dicicil dan ditunda, tidak demikian halnya dengan nilai harian -- pekerjaan rumah atapun pekerjaan sekolah.

Termasuk pula, Buku Kerja Siswa (BKS) yang meski saya tak terlalu menjadikannya acuan penilaian, tetapi karena ada perintah dari kedinasan untuk menggunakannya, maka harus saya nilai. Hanya sebagai syarat saja agar siswa saya yang sudah bersusah payah mengerjakannya tidak merasa sia-sia.

Untuk acuan nilai yang saya masukkan ke dalam rapor sebagai nilai harian, biasanya adalah tugas yang saya buat sendiri sesuai kompetensi dasar yang telah ditentukan.

Tugas harian harus segera dikoreksi. (Dokumentasi pribadi)
Tugas harian harus segera dikoreksi. (Dokumentasi pribadi)
Jika boleh dirangkum, mengoreksi ulangan harian dan lainnya memang seakan-akan menjadi sebuah fatamorgana. Namun, jika guru tahu sela waktu yang ada, semisal saat siswa sedang olahraga, pelajaran agama, ataupun ekskul, maka kegiatan ini bisa dikerjakan dengan baik.

Apalagi, bagi saya, mengoreksi ulangan adalah sebuah kenikmatan tersendiri terlebih saat menemukan jawaban yang aneh dan tidak masuk akal. Walau dalam diri juga merasa gagal, tetapi saya selalu senang dengan daya kreativitas murid-murid saya.

Bisa jadi, jawaban yang mereka berikan saat ini, walau cukup nyleneh, tapi pada masa mendatang akan menghasilkan ide cemerlang yang dibutuhkan oleh masyarakat. Apakah ada buktinya? Banyak.

Jadi, bagi para guru yang sedang melakukan koreksi di pagi ini, tetaplah bersemangat. Tuhan beserta kalian para pejuang koreksian.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun