Ketika saya tahu jadwal keberangkatan kereta api Tawang Alun yang akan membawa saya pulang ke Malang pukul 05.00 pagi, saya langsung lemas.
Saya semakin lemas kala stasiun yang harus saya tuju untuk naik kereta api, Banyuwangi Baru, berjarak sekitar 10 kilometer dari tempat saya menginap. Letaknya memang cukup jauh dari pusat kota.Â
Tepatnya, di seberang Pelabuhan Ketapang dan menjadi stasiun paling timur di Pulau Jawa. Banyuwangi Baru juga menjadi stasiun terminus beberapa perjalanan kereta dari berbagai kota di jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur.
Untunglah, beberapa hari sebelum saya tiba di ujung Pulau Jawa itu, rekan saya mengatakan untuk tidak perlu khawatir. Saya tak usah naik kereta api dari Stasiun Banyuwangi Baru. Lebih baik, saya menaiki ular besi dari Stasiun Karangasem.
Stasiun ini memang tak terletak di kota Banyuwangi. Lebih tepatnya, berada di Glagah, salah satu kecamatan yang paling dekat dengan Kecamatan Banyuwangi.Â
Dari penginapan saya di daerah Taman Baru, hanya berjarak sekitar 4 kilometer. Bandingkan dengan jarak menuju Stasiun Banyuwangi Baru. Lihat petunjuk arah di Google Map saja saya sudah merinding.
Melihat strategisnya kota ini dilihat dari berbagai aspek, rasanya kok aneh. Kereta api sudah dianggap sebagai salah satu transportasi yang menghidupkan sekaligus mematikan.Â
Masih terngiang di benak saya bagaimana sepinya Kota Banyumas ketika jalur kereta api tak melewati kota itu. Keramaian langsung berpindah ke Kota Purwokerto yang kemudian ditunjuk sebagai ibu kota Kabupaten Banyumas hingga sekarang.
Namun, bukan cerita tak melintasnya sang ular besi yang ternyata saya dapat. Melainkan, cerita pernah ramainya aktivitas sang ular pada zaman dulu di kota ini.Â
Ya, di Kota Banyuwangi ternyata pernah ada jalur kereta api beserta stasiunnya yang tak jauh dari pusat kota. Saya pun lantas membuka arsip dari beberapa diskusi rekan-rekan railfans mengenai keberadaan jalur tersebut.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Rekan saya yang menemani saya menjelajah kota ini juga merupakan anggota sebuah komunitas pecinta bangunan bersejarah.Â
Ia mengetahui sedikit banyak bangunan bersejarah di Banyuwangi. Saya pun lantas diajak ke sebuah bekas pabrik pengolahan minyak goreng. Sepintas, bangunan yang saya duga bergaya De Amsterdam School ini masih kokoh.
Penataan pintu dan jendela dirancang sedetail mungkin sehingga membentuk sudut siku-siku yang hampir sempurna. Namun, tembok bangunan bekas pabrik itu sudah kusam dan penuh dengan coretan.
Saya semakin penasaran apa gerangan hubungan bekas pabrik ini dengan jalur kereta api. Dari penuturan rekan saya, pabrik bernama "Naga Bulan" ini adalah salah satu pabrik yang memanfaatkan kereta api sebagai tumpuan transportasinya.Â
Dulunya bahkan ada sebuah bekas menara yang sering digunakan anak-anak untuk bermain di kala senja. Sayang, tak ada informasi mengenai bagaimana aktivitas perkeretaapian di pabrik ini pada zaman kejayaannya.Â
Informasi yang ada hanyalah penutupan Jalur Kabat-Banyuwangi di pertengahan tahun 1980an. Jalur itu digantikan dengan jalur Kabat-Banyuwangi Baru (Ketapang) yang hingga kini masih aktif.
Penutupan ini merupakan jawaban atas pertanyaan saya mengapa tak ada stasiun kereta api di Kota Banyuwangi. Jalur ini resmi ditutup dan diganti dengan jalur menuju Stasiun Banyuwangi Baru yang lebih dekat dengan pelabuhan Ketapang.Â
Entah apa tujuan dari penutupan itu. Ada yang beranggapan, pembukaan jalur menuju darah Ketapang agar memudahkan para wisatawan yang akan ke Pulau Bali. Ada pula yang mengatakan, lingkungan di sekitar stasiun itu tidak terlalu kondusif untuk aktivitas perjalanan kereta api.
Yang jelas, saya masih menemukan sisa-sisa kejayaan sang ular besi di daerah bernama Karangrejo, Kecamatan Kota Banyuwangi. Bekas rel tampak menjuntai dengan indah disertai bekas palang pintu kereta api. Rumah-rumah penduduk sangat padat. Bahkan, ada perumahan baru yang berada di sekitar daerah itu.
Beberapa lubang di tembok tampak menganga. Pun demikian dengan jendela yang hampir tak terlihat lagi. Menyisakan kusennya saja. Itupun sudah keropos dan tinggal menunggu ajal kapan benar-benar tak bisa difungsikan.
Semisal, mereka memberi anyaman bambu (gedheg) pada jendela yang sudah terbuka lebar. Entah bagaimana rasanya tinggal di bekas bangunan seperti itu. Melihat sekilas saja, saya sudah ngilu.
Mulanya, saya hanya melihat bangunan warung nasi dan beberapa lapak penjual buah di tempat yang ditunjuk oleh rekan saya.
Tak lama, saya melihat tulisan "Banyuwangi" lengkap dengan informasi ketinggian stasiun. Stasiun itu berketinggian 6 meter di atas permukaan laut tersebut. Saya bersorak. Ya, ini adalah bagian samping stasiun. Saya memotret bangunan itu dan mulai berkhayal sedang berada di emplasemennya.
Kondisi semakin suram dengan banyaknya coretan beserta gambar calon anggota legislatif terpasang yang tak mengindahkan keberadaan bangunan bersejarah itu.
Jika diamati sekilas, saya merasakan ada kemiripan bentuk bangunan stasiun itu dengan beberapa stasiun kelas besar di Jawa Timur. Tak ada informasi lagi yang bisa saya dapatkan mengenai kelas stasiun ini. Saya juga tak menemukan diagram lintasan stasiun ini seperti pada beberapa stasiun nonaktif lainnya.
Meski demikian, dari potret yang dimiliki oleh tropen musem, stasiun ini bisa dikatakan merupakan stasiun kelas besar. Di dalam potret itu, ada sekitar lima jalur rel yang melintas di dalamnya.Â
Saat saya datang ke sana, hanya tersisa satu rel saja yang masih terlihat. Itupun kadang nampak dan kadang tidak. Artinya, sejak dahulu kala jalur, kereta api merupakan jalur transportasi penting di kota ini.
Area parkir masih terlihat luas yang semakin meyakinkan dulunya aktivitas cukup ramai di stasiun tersebut. Beberapa meter dari tempat itu, saya sudah bisa melihat Taman Blambangan yang merupakan taman kota di dekat pusat pemerintahan Banyuwangi.
Bagaimana sebuah kota yang awalnya memiliki stasiun yang strategis kini malah berakhir dengan tragis. Wisatawan seperti saya pun akhirnya kebingungan untuk naik dan turun dari kereta api.
Sama bingungnya dengan beberapa penumpang yang seharusnya naik dari Stasiun Banyuwangi Baru namun akhirnya juga memulai perjalannnya di Stasiun Karangasem.Â
Dengan menginap di pusat Kota Banyuwangi, siapa saja yang memiliki tiket keberangkatan di Stasiun Banyuwangi Baru akan berpikir dua kali. Terlebih, jika waktu keberangkatan kereta yang sangat pagi. Rasanya kok, males.
*) Kota Banyuwangi yang dimaksud adalah Kecamatan Banyuwangi Kota yang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Banyuwangi.
Sumber:Â