"Belinya nanti, ya. Nunggu gajian dulu."
Kalimat itu, terdengar sederhana tapi menyimpan banyak cerita. Di banyak keluarga, pembicaraan seperti ini sudah jadi semacam kode etik diam-diam tentang bagaimana keuangan keluarga dikelola---atau mungkin, disembunyikan.
Pertanyaannya, apakah keluarga kita termasuk yang terbuka perihal kondisi keuangan? Atau justru keuangan menjadi topik yang lebih tabu daripada bahas mantan?
Tak sedikit dari kita yang tumbuh dalam budaya di mana uang dianggap sebagai hal yang pantang dibicarakan secara gamblang di ruang keluarga.
Padahal, justru dari ruang-ruang rumah itulah seharusnya literasi finansial dimulai. Saat kita bahas keuangan keluarga, kita sebenarnya sedang menyiapkan masa depan yang lebih sehat secara finansial, tidak hanya bagi kita sebagai orang tua, tapi juga bagi anak-anak.
Keuangan bukan cuma soal mencatat pengeluaran atau menabung. Di balik itu ada kerja rutin yang sering terlupakan: financial check-up. Ini semacam "periksa kesehatan" kondisi dompet dan tabungan. Apakah keuangan kita sehat, sedang pilek, atau sebenarnya sudah masuk ICU tapi kita pura-pura tidak tahu?
Sayangnya, banyak keluarga abai terhadap ini. Kita mungkin tahu kapan ganti oli motor, tapi lupa kapan terakhir mengecek arus kas rumah tangga.
Sebenarnya, financial check-up ini penting agar setiap anggota keluarga bisa lebih terbuka, saling memahami peran, beban, dan prioritas keuangan bersama.
Lalu bagaimana dengan anak-anak?
Anak-anak memandang uang dengan cara yang sangat sederhana: uang = bisa beli mainan. Karena uang datang dari orang tua, logika mereka tidak jauh dari "minta = dapat".
Hal ini wajar, karena mereka belum memahami konsep nilai uang dari waktu ke waktu. Inilah saatnya orang tua mengenalkan konsep dasar keuangan: time value of money (TVM), atau dalam Bahasa Indonesia: nilai uang dari waktu ke waktu.