Hari ini, langit Jakarta Selatan diselimuti suara gemuruh yang bukan berasal dari hujan atau kemacetan biasa.
Di depan Gedung Kementerian Ketenagakerjaan, ratusan pengemudi ojek online (ojol), taksi online, dan kurir berkumpul membawa poster-poster bertuliskan tuntutan yang sama:
"THR Hak Kami!". Suara mereka bersahutan, menembus dinding gedung yang selama ini diharapkan menjadi penjaga hak-hak pekerja. Lili Pujiati, Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), dengan lantang menyampaikan kegelisahan yang telah mengendap selama satu dekade:
"Sepuluh tahun kami bekerja, menghasilkan ratusan juta untuk platform, tapi THR saja tak pernah kami terima!"Â
Melansir Kompas.com, aksi yang digelar pada Senin, 17 Februari 2025 ini bukan sekadar tentang tunjangan hari raya. Ini tentang pengakuan. Tentang bagaimana ribuan pekerja di sektor transportasi online---yang sehari-hari menjadi urat nadi ekonomi digital---merasa seperti tamu tak diundang dalam pesta keuntungan yang mereka ciptakan.
Lili menggambarkan situasi ini sebagai "revolusi pekerja", di mana fleksibilitas yang dijanjikan platform justru menjadi pisau bermata dua. "Kemitraan fleksibel hanyalah dalih untuk menghindari kewajiban membayar THR dan hak-hak dasar seperti cuti atau upah minimum," tegasnya.Â
Fleksibilitas. Kata itu mungkin terdengar manis di telinga generasi yang menggemari kebebasan bekerja tanpa ikatan. Tapi bagi ojol, fleksibilitas adalah ilusi.
Mereka bebas memilih jam kerja, tapi algoritma yang menentukan apakah orderan akan datang. Bebas menentukan rute, tapi rating sistem yang bisa mencabut akses penghidupan dalam sekejap. Bekerja 12-14 jam sehari tanpa jaminan lembur, cuti haid, atau perlindungan ketika sakit.
"Kami seperti ayam petelur di peternakan modern: merasa bebas berkeliaran, tapi pagar listrik tak kasat mata selalu mengintai," ujar seorang pengemudi yang enggan disebut namanya.Â
Inilah wajah prekariat---kelas pekerja baru yang hidup dalam ketidakpastian. Istilah yang dipopulerkan ekonom Guy Standing ini menggambarkan mereka yang terperangkap dalam gig economy: bekerja tanpa kontrak tetap, tanpa jaminan sosial, dan tanpa tahu apakah besok masih bisa mencari nafkah.